Blog is Power

Saturday, March 9, 2013

Habib Riziq Ingin Jadi Presiden (Syari'ah)


Saya ingin jadi presiden! Lucu tidak ya, jika orang seperti saya tiba-tiba bercita-cita jadi presiden? Hehe, sepertinya anda tidak saja akan bilang lucu tapi juga aneh. Saya yakin anda akan terpingkal-pingkal karena menduga saya sedang mengigau di siang bolong. Tak lazim cita-cita itu dimiliki orang yang tak punya kemampuan yang memadai. Presiden, anda tahu adalah penguasa yang memerintah sekaligus menguasai teritori tertentu. Tanpa pengaruh dan kharisma kepemimpinan yang kuat mustahil rasanya orang akan mau memilih siapapun menjadi presiden. 

Tapi bagaimana jika Habib Rizieq yang bercita-cita ingin menjadi presiden (syariah)?

Anda tahu, setiap orang bebas bercita-cita menjadi apapun. Sejak kecil orang tua melatih agar kita bernyali mengungkapkan cita-cita. Dokter, insinyur, pilot, presiden, tentara, dan bidan adalah cita-cita yang paling populer bagi anak-anak balita. Bila cita-cita pada masa balita itu kemudian mengendap dalam alam bawah sadar sampai dewasa dan tiba-tiba muncul di saat sekarang maka dalam hemat saya peristiwa itu tidak dapat lagi disebut dengan mengigau melainkan peristiwa yang dialami dalam keadaan sadar dan terjaga.

Jika saya katakan bahwa manusia manapun sah-sah saja menjadi presiden, tentu anda atau siapapun pasti tidak akan keberatan. Secara teologis, kedudukan presiden berbeda dengan peristiwa kenabian yang pemilihannya melalui jalur transenden sehingga otoritasnya mutlak berada dalam kekuasaan Ilahi. Sedangkan dalam pandangan dunia demokrasi, presiden sama sekali bukan jabatan sakral dan tidak tabu untuk dibicarakan. Jabatan presiden diperuntukkan dan dapat diduduki siapapun tanpa memandang kelas dan kasta sosial. Demokrasi hanya mensyaratkan kuasa mayoritas sebagai satu-satunya alat legitimasi terpilihnya seseorang menjadi presiden.

Jadi seperti itu tradisi kepemimpinan yang selama ini kita anut dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia. Tradisi demokrasi yang menempatkan partai politik sebagai satu-satunya pabrik besar yang telah memproduksi calon-calon presiden di masa lalu hingga masa sekarang. Jabatan presiden, gubernur, dan bupati pasti berasal dari kader-kader partai politik. Tidak akan kita jumpai saat ini jabatan presiden sampai bupati akan diisi oleh orang-orang non partai.

Tahun 2013 adalah tahun pemanasan (warming up) bagi partai-partai politik untuk bersaing memunculkan jagonya masing-masing. Arena persaingan ini mutlak menjadi wilayah yang dimonopoli oleh partai politik. Maka disini kita dapat melihat kedudukan Habib Rizieq yang belakangan ini ramai dibicarakan akan mencalonkan diri sebagai presiden. Dari wacana yang berkembang jabatan presiden yang diinginkan Habib Rizieq ternyata keluar dari tradisi kepemimpinan yang berlaku di Indonesia. Jika selama ini kita mengenal SBY hanya disebut sebagai presiden NKRI, maka Habib Rizieq justru mempunyai konsep lain yakni presiden syari’ah untuk NKRI yang juga diberi label syari’ah.

Konsep presiden syari’ah jika dilihat dari kacamata sejarah ketatanegaraan Islam dari abad ke 7 hingga runtuhnya Turki Uthmani memang tidak pernah mengenal atau memakai istilah tersebut. Setelah jaman nabi, seorang kepala negara disebut sebagai khalifah, amir, dan sultan tanpa embel-embel apapun. Jadi, ketika sekarang Habib Rizieq memunculkan istilah itu tentu kita dapat menanyakan apakah ada landasan teologis dan historis dari konsep presiden syari’ah tersebut? Kalau tidak ada, darimanakah Habib Rizieq mendapat istilah itu.

Kemudian yang paling penting untuk segera didiskusikan disini adalah bagaimana kedudukan presiden syari’ah dalam hukum ketatanegaraan Indonesia? Apakah tidak akan menimbulkan dualisme kepemimpinan? Siapa yang berkedudukan sebagai ulil amri yang harus ditaati oleh umat Islam, SBY atau Habib Rizieq?

Sejak awal mendengar wacana presiden syari’ah ini, saya pribadi bingung bagaimana  bisa muncul istilah tersebut dalam sistem ketatanegaraan yang kita ketahui telah disepakati bersama jauh-jauh hari sebelumnya. Konsep presiden syari’ah yang saat ini tengah digulirkan ke publik apa tidak bertentangan dengan konstitusi. Apakah istilah presiden syari’ah dapat dianalogikan dengan istilah bank syari’ah atau asuransi syari’ah? Saya kira ini persoalan berat karena konsekuensi dari gagasan itu mengharuskan kita untuk mendekonstruksi sistem ketetanegaraan yang telah termapankan. Dan ini mustahil dilakukan tanpa kesepakatan diantara seluruh rakyat. Maka pertanyaannya sekarang, apa betul rakyat kita setuju dengan ijtihad politik yang diperkenalkan oleh Habib Rizieq?

Ditengah kecamuk dan gonjang-ganjing politik yang kian memanas belakangan ini, lontaran gagasan Habib Rizieq mengenai presiden syari’ah dan NKRI Bersyari’ah berhasil mencuri perhatian publik. Entah bagaimana respon dan sambutan masyarakat terhadap wacana ini. Kita tunggu bersama perkembangan selanjutnya.


No comments: