Saya ingin jadi presiden! Lucu
tidak ya, jika orang seperti saya tiba-tiba bercita-cita jadi presiden? Hehe,
sepertinya anda tidak saja akan bilang lucu tapi juga aneh. Saya yakin anda
akan terpingkal-pingkal karena menduga saya sedang mengigau di siang bolong. Tak
lazim cita-cita itu dimiliki orang yang tak punya kemampuan yang memadai. Presiden,
anda tahu adalah penguasa yang memerintah sekaligus menguasai teritori
tertentu. Tanpa pengaruh dan kharisma kepemimpinan yang kuat mustahil rasanya
orang akan mau memilih siapapun menjadi presiden.
Tapi bagaimana jika Habib
Rizieq yang bercita-cita ingin menjadi presiden (syariah)?
Anda tahu, setiap orang
bebas bercita-cita menjadi apapun. Sejak kecil orang tua melatih agar kita bernyali
mengungkapkan cita-cita. Dokter, insinyur, pilot, presiden, tentara, dan bidan
adalah cita-cita yang paling populer bagi anak-anak balita. Bila cita-cita pada
masa balita itu kemudian mengendap dalam alam bawah sadar sampai dewasa dan
tiba-tiba muncul di saat sekarang maka dalam hemat saya peristiwa itu tidak
dapat lagi disebut dengan mengigau melainkan peristiwa yang dialami dalam
keadaan sadar dan terjaga.
Jika saya katakan bahwa
manusia manapun sah-sah saja menjadi presiden, tentu anda atau siapapun pasti tidak
akan keberatan. Secara teologis, kedudukan presiden berbeda dengan peristiwa
kenabian yang pemilihannya melalui jalur transenden sehingga otoritasnya mutlak
berada dalam kekuasaan Ilahi. Sedangkan dalam pandangan dunia demokrasi,
presiden sama sekali bukan jabatan sakral dan tidak tabu untuk dibicarakan. Jabatan
presiden diperuntukkan dan dapat diduduki siapapun tanpa memandang kelas dan
kasta sosial. Demokrasi hanya mensyaratkan kuasa mayoritas sebagai satu-satunya
alat legitimasi terpilihnya seseorang menjadi presiden.
Jadi seperti itu tradisi
kepemimpinan yang selama ini kita anut dalam kehidupan ketatanegaraan
Indonesia. Tradisi demokrasi yang menempatkan partai politik sebagai
satu-satunya pabrik besar yang telah memproduksi calon-calon presiden di masa lalu hingga
masa sekarang. Jabatan presiden, gubernur, dan bupati pasti berasal dari
kader-kader partai politik. Tidak akan kita jumpai saat ini jabatan presiden sampai
bupati akan diisi oleh orang-orang non partai.
Tahun 2013 adalah tahun
pemanasan (warming up) bagi partai-partai politik untuk bersaing memunculkan
jagonya masing-masing. Arena persaingan ini mutlak menjadi wilayah yang
dimonopoli oleh partai politik. Maka disini kita dapat melihat kedudukan Habib
Rizieq yang belakangan ini ramai dibicarakan akan mencalonkan diri sebagai
presiden. Dari wacana yang berkembang jabatan presiden yang diinginkan Habib
Rizieq ternyata keluar dari tradisi kepemimpinan yang berlaku di Indonesia. Jika
selama ini kita mengenal SBY hanya disebut sebagai presiden NKRI, maka Habib
Rizieq justru mempunyai konsep lain yakni presiden syari’ah untuk NKRI yang
juga diberi label syari’ah.
Konsep presiden syari’ah
jika dilihat dari kacamata sejarah ketatanegaraan Islam dari abad ke 7 hingga
runtuhnya Turki Uthmani memang tidak pernah mengenal atau memakai istilah tersebut. Setelah jaman
nabi, seorang kepala negara disebut sebagai khalifah, amir, dan sultan tanpa
embel-embel apapun. Jadi, ketika sekarang Habib Rizieq memunculkan istilah itu
tentu kita dapat menanyakan apakah ada landasan teologis dan historis dari
konsep presiden syari’ah tersebut? Kalau tidak ada, darimanakah Habib Rizieq mendapat
istilah itu.
Kemudian yang paling penting
untuk segera didiskusikan disini adalah bagaimana kedudukan presiden syari’ah
dalam hukum ketatanegaraan Indonesia? Apakah tidak akan menimbulkan dualisme kepemimpinan?
Siapa yang berkedudukan sebagai ulil amri yang harus ditaati oleh umat Islam,
SBY atau Habib Rizieq?
Sejak awal mendengar wacana
presiden syari’ah ini, saya pribadi bingung bagaimana bisa muncul istilah
tersebut dalam sistem ketatanegaraan yang kita ketahui telah disepakati bersama
jauh-jauh hari sebelumnya. Konsep presiden syari’ah yang saat ini tengah
digulirkan ke publik apa tidak bertentangan dengan konstitusi. Apakah istilah
presiden syari’ah dapat dianalogikan dengan istilah bank syari’ah atau asuransi
syari’ah? Saya kira ini persoalan berat karena konsekuensi dari gagasan itu
mengharuskan kita untuk mendekonstruksi sistem ketetanegaraan yang telah termapankan.
Dan ini mustahil dilakukan tanpa kesepakatan diantara seluruh rakyat. Maka pertanyaannya sekarang, apa
betul rakyat kita setuju dengan ijtihad politik yang diperkenalkan oleh Habib
Rizieq?
Ditengah kecamuk dan
gonjang-ganjing politik yang kian memanas belakangan ini, lontaran gagasan
Habib Rizieq mengenai presiden syari’ah dan NKRI Bersyari’ah berhasil mencuri
perhatian publik. Entah bagaimana respon dan sambutan masyarakat terhadap
wacana ini. Kita tunggu bersama perkembangan selanjutnya.
No comments:
Post a Comment