Untuk apakah anda
berfilsafat? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita berkenalan terlebih
dahulu dengan filsafat. Saat ini kita sedang melihat dan mendengar begitu
banyak persoalan seperti epidemi korupsi, premanisme, mutilasi, kenaikan harga
bawang putih, dan pelbagai macam persoalan kemanusiaan yang sedang ramai
dibicarakan. Untuk memecahkan persoalan-persoalan itu kita tidak mungkin lagi hanya
mengandalkan penegak hukum atau para ekonom yang terbiasa bekerja secara hitam
putih dan linear. Kita memerlukan pendekatan lain yang bisa lebih diandalkan
untuk membongkar akar permasalahan sekaligus jalan keluarnya.
Namun, saya agak kesulitan
untuk memastikan apa sebetulnya definisi yang paling layak untuk filsafat. Barangkali
anda akan bertanya mengapa saya menyebut definisi paling layak, mengapa tidak saya
katakan definisi yang paling benar? Saya fikir itulah keajaiban yang tidak
dimiliki disiplin keilmuan lain selain filsafat. Konon, filsafat tidak dapat dimasukkan kedalam kategori dogma
yang biasa bermain dalam wilayah klaimologi -kalau tidak benar maka salah-
seperti dikenal dalam ajaran agama-agama. Filsafat juga bukan korpus dari aturan
perundang-undangan yang mencantumkan ancaman hukuman. Kemudian yang paling
penting disini, filsafat tidak memberikan batasan-batasan yang mengekang
kebebasan berfikir. Penyebabnya hanya satu hal: adanya fakta bahwa siapapun
termasuk para filsuf sejatinya telah terkurung dalam keterbatasan akalnya.
Jadi, apakah filsafat itu? Diluar
sana kita temukan ribuan definisi filsafat. Lihat saja diberbagai literatur filsafat
yang bertebaran dalam rak-rak buku kita. Disana akan banyak ditemukan definisi
filsafat. Jika anda memiliki literatur filsafat sebanyak 20 buah saja maka anda
akan berjumpa paling sedikitnya dengan 20 definisi atau bahkan bisa lebih. Tapi
karena melimpahnya definisi filsafat yang diajukan para filsuf justru berakibat
buruk. Ragam definisi itu belakangan sering disadari justru mengaburkan makna
filsafat. Kita pada akhirnya tidak pernah mendapatkan satupun definisi pasti
yang disepakati. Yang kita temukan hanyalah ragam perspektif mengenai filsafat.
Oleh karena alasan itu ada baiknya kita abaikan dulu tumpukan definisi itu.
Ada satu ungkapan menarik yang
perlu dicatat sini: “filsafat dimulai
dengan pertanyaan dan diakhiri dengan pertanyaan”. Apa makna ungkapan itu
bagi anda? Bagi saya, filsafat atau berfilsafat selalu identik dengan kegiatan
bertanya. Anda bisa mempertanyakan segala hal, atau dalam bahasa Descartes anda
bisa meragukan segala hal. Konon, Al-Ghazali adalah orang pertama yang memperkenalkan
metode berfikir skeptik seperti diperkenalkan Descartes berabad-abad setelahnya.
Berfilsafat artinya kita tidak menerima sebuah keadaan atau pernyataan apa
adanya (taken for granted) sebelum menemukan hakikat terdalam dari sebuah fenomena.
Dengan kata lain karakteristik pertanyaan dalam filsafat tidak melulu fokus
pada sektor permukaan yang sifatnya kulit. Filsafat akan menuntun anda
menerobos hingga kebagian terdalam dari keseluruhan bagian-bagian persoalan
secara sistematis. Faktor-faktor itulah yang biasa dikenal sebagai ciri-ciri
pokok dari berfikir dengan pendekatan filsafati.
Kita hari ini tengah
berhadapan dengan beragam persoalan yang teramat pelik. Seperti permasalahan
korupsi yang telah lama kita ketahui menjadi penyakit kronis yang menggerogoti
setiap bagian dari tubuh pemerintahan.
Bagaimana anda berfikir untuk menyelesaikan persoalan ini? Apakah cukup
mengandalkan para penegak hukum dan para analis ekonomi saja? Jika kita
perhatikan selama ini penegakan hukum seperti dilakukan KPK belum sepenuhnya berhasil
mengentas persoalan korupsi. Penindakan oleh KPK hanya menyentuh aspek
perbuatan oknum koruptor. Belum kita jumpai rangkaian usaha lebih jauh untuk
menyelidiki penyebab atau motif-motif seorang oknum dalam melakukan korupsi.
Barangkali kerja KPK hanya dalam batas-batas itu saja. Artinya tidak mungkin
KPK melakukan penelusuran lebih jauh untuk mencari persoalan mendasar yang
menjadi penyebab utama maraknya korupsi.
Sampai disini ilmu hukum dan
ilmu ekonomi sudah dipastikan tak akan sanggup berbuat apa-apa. Keduanya tidak
mungkin sanggup masuk lebih jauh untuk mencari akar persoalan. Maka disinilah kita
memerlukan filsafat. Dengan pendekatan filsafat kita akan membedah motif-motif,
mencari sebab-sebab, dan kemungkinan-kemungkinan yang begitu dominan
mempengaruhi perilaku seorang koruptor. Misalnya, pertama kali kita bisa saja
menduga orang yang melakukan korupsi disebabkan karena yang bersangkutan tidak
memiliki kesadaran hukum. Namun benarkah seorang koruptor tidak berkesadaran
hukum? Filsafat bisa mengajukan pertanyaan dengan model seperti itu. Seorang
koruptor kita ketahui umumnya adalah politisi yang merangkap sebagai anggota
parlemen. Kitapun mengetahui tiap anggota parlemen terlibat secara penuh dalam
pembahasan aturan hukum. Maka mustahil bila dikatakan seorang koruptor tidak
memiliki kesadaran hukum. Filsafat pasti menolak anggapan semacam itu.
Filsafat harus bergerak
lebih jauh mencari penyebab lain. Misalnya anda melakukan korupsi karena didorong
oleh kebutuhan biaya kontestasi dalam demokrasi yang sangat mahal. Disini kemungkinan
besar juga telah terjadi kekeliruan perumusan aturan-aturan karena masih memberikan
celah begitu longgar terhadap praktik jual beli suara. Atau, bisa juga karena
lemahnya kontrol masyarakat. Lebih parah lagi praktik jual beli suara tersebut belakangan
justru sering dipandang sebagai kelumrahan dalam demokrasi. Dengan gejala
demikian, filsafat bisa mengajukan satu hipotesa awal bahwa salah satu penyebab
utama dari maraknya korupsi adalah karena budaya masyarakat kita yang sedang sakit.
Masyarakat kita mendiamkan praktik jual beli suara. Bisa anda bayangkan
selanjutnya, bagaimana sikap seorang politisi yang berangkat dan masuk menjadi
anggota parlemen dengan cara-cara tak terpuji. Ujung-ujungnya lahirlah
lingkaran setan baru yang sambung menyambung untuk melestarikan budaya korupsi.
Cara kerja filsafat tentu tidak
akan berhenti sampai disini saja. Filsafat harus kembali menemukan perspektif
lain. Jika dikatakan budaya masyarakat yang sedang sakit, filsafat harus
mencari alternatif penawarnya. Misalnya kita bisa melihat beragam konteks yang dominan
mempengaruhi pandangan hidup masyarakat. Kita tahu pandangan hidup itulah yang
menjadi penyusun utama dari budaya. Inilah barangkali akar persoalannya. Pandangan
hidup yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat dalam memaknai
hidup. Perkara ini tentu tak akan lepas dari persoalan pemahaman yang terkait
erat dengan faktor keilmuan. Sekarang, darimana masyarakat memperoleh ilmu? Tentu
dari lembaga pendidikan yang tidak terbatas didalam lingkungan sekolah dan
universitas saja. Kita tahu pendidikan yang menanamkan dan mentransmisikan berbagai
macam disiplin ilmu dan dengan itu pula masyarakat kita terbentuk dan menjadi.
Ada adagium lain yang ingin
saya sampaikan disini, bahwa masyarakat
yang rusak akan melahirkan pemimpin yang juga rusak. Sebuah ungkapan
filosofis. Anda bisa mencermatinya dengan seksama betapa ungkapan itu sanggup
memetakan keseluruhan persoalan kemasyarakatan dan pemerintahan yang tengah
kita hadapi saat ini. Dengan bahasa lain ungkapan tersebut dapat kita ucapkan:
mungkinkah dari masyarakat yang rusak dan sakit akan lahir pemimpin yang baik?
Dalam pertimbangan akal sehat mustahil akan lahir pemimpin yang baik, amanah,
dan bijak dari rahim masyarakat yang sakit. Walaupun kemungkinan-kemungkinan
lain bisa saja terjadi melampaui kuasa rasionalitas. Artinya, bisa saja dari
masyarakat jahiliyah tersebut akan lahir pemimpin yang baik. Tak usah
jauh-jauh, Nabi SAW dulu lahir ditengah kondisi masyarakat Quraisy yang
terkenal sebagai kaum penyembah berhala dan berhiaskan diri dengan adab yang
sangat buruk dan anehnya nyaris serupa dengan situasi sosial saat ini.
Cara kerja filsafat yang mengakar dan tak tanggung-tanggung akan banyak membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang merebak dalam tiap ruang dan sekat-sekat kehidupan masyarakat kita saat ini. Walaupun sifatnya spekulatif namun dengan filsafat kita akan mendapatkan manfaat besar. Kita akan memperoleh berbagai macam perspektif dan peluang penyelesaian masalah akan terbuka dan itu akan mengembalikan keyakinan kita bahwa tak ada satupun persoalan yang tak bisa diatasi selagi kita bersungguh-sungguh mencari jalan keluar termasuk dengan memakai pendekatan filsafat.
Cara kerja filsafat yang mengakar dan tak tanggung-tanggung akan banyak membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang merebak dalam tiap ruang dan sekat-sekat kehidupan masyarakat kita saat ini. Walaupun sifatnya spekulatif namun dengan filsafat kita akan mendapatkan manfaat besar. Kita akan memperoleh berbagai macam perspektif dan peluang penyelesaian masalah akan terbuka dan itu akan mengembalikan keyakinan kita bahwa tak ada satupun persoalan yang tak bisa diatasi selagi kita bersungguh-sungguh mencari jalan keluar termasuk dengan memakai pendekatan filsafat.
No comments:
Post a Comment