Blog is Power

Friday, March 15, 2013

Mengapa Kita Harus Berfilsafat?



Untuk apakah anda berfilsafat? Untuk menjawab pertanyaan ini ada baiknya kita berkenalan terlebih dahulu dengan filsafat. Saat ini kita sedang melihat dan mendengar begitu banyak persoalan seperti epidemi korupsi, premanisme, mutilasi, kenaikan harga bawang putih, dan pelbagai macam persoalan kemanusiaan yang sedang ramai dibicarakan. Untuk memecahkan persoalan-persoalan itu kita tidak mungkin lagi hanya mengandalkan penegak hukum atau para ekonom yang terbiasa bekerja secara hitam putih dan linear. Kita memerlukan pendekatan lain yang bisa lebih diandalkan untuk membongkar akar permasalahan sekaligus jalan keluarnya.

Namun, saya agak kesulitan untuk memastikan apa sebetulnya definisi yang paling layak untuk filsafat. Barangkali anda akan bertanya mengapa saya menyebut definisi paling layak, mengapa tidak saya katakan definisi yang paling benar? Saya fikir itulah keajaiban yang tidak dimiliki disiplin keilmuan lain selain filsafat. Konon, filsafat  tidak dapat dimasukkan kedalam kategori dogma yang biasa bermain dalam wilayah klaimologi -kalau tidak benar maka salah- seperti dikenal dalam ajaran agama-agama. Filsafat juga bukan korpus dari aturan perundang-undangan yang mencantumkan ancaman hukuman. Kemudian yang paling penting disini, filsafat tidak memberikan batasan-batasan yang mengekang kebebasan berfikir. Penyebabnya hanya satu hal: adanya fakta bahwa siapapun termasuk para filsuf sejatinya telah terkurung dalam keterbatasan akalnya.

Jadi, apakah filsafat itu? Diluar sana kita temukan ribuan definisi filsafat. Lihat saja diberbagai literatur filsafat yang bertebaran dalam rak-rak buku kita. Disana akan banyak ditemukan definisi filsafat. Jika anda memiliki literatur filsafat sebanyak 20 buah saja maka anda akan berjumpa paling sedikitnya dengan 20 definisi atau bahkan bisa lebih. Tapi karena melimpahnya definisi filsafat yang diajukan para filsuf justru berakibat buruk. Ragam definisi itu belakangan sering disadari justru mengaburkan makna filsafat. Kita pada akhirnya tidak pernah mendapatkan satupun definisi pasti yang disepakati. Yang kita temukan hanyalah ragam perspektif mengenai filsafat. Oleh karena alasan itu ada baiknya kita abaikan dulu tumpukan definisi itu.

Ada satu ungkapan menarik yang perlu dicatat sini: “filsafat dimulai dengan pertanyaan dan diakhiri dengan pertanyaan”. Apa makna ungkapan itu bagi anda? Bagi saya, filsafat atau berfilsafat selalu identik dengan kegiatan bertanya. Anda bisa mempertanyakan segala hal, atau dalam bahasa Descartes anda bisa meragukan segala hal. Konon, Al-Ghazali adalah orang pertama yang memperkenalkan metode berfikir skeptik seperti diperkenalkan Descartes berabad-abad setelahnya. Berfilsafat artinya kita tidak menerima sebuah keadaan atau pernyataan apa adanya (taken for granted) sebelum menemukan hakikat terdalam dari sebuah fenomena. Dengan kata lain karakteristik pertanyaan dalam filsafat tidak melulu fokus pada sektor permukaan yang sifatnya kulit. Filsafat akan menuntun anda menerobos hingga kebagian terdalam dari keseluruhan bagian-bagian persoalan secara sistematis. Faktor-faktor itulah yang biasa dikenal sebagai ciri-ciri pokok dari berfikir dengan pendekatan filsafati.

Kita hari ini tengah berhadapan dengan beragam persoalan yang teramat pelik. Seperti permasalahan korupsi yang telah lama kita ketahui menjadi penyakit kronis yang menggerogoti setiap bagian dari tubuh pemerintahan.  Bagaimana anda berfikir untuk menyelesaikan persoalan ini? Apakah cukup mengandalkan para penegak hukum dan para analis ekonomi saja? Jika kita perhatikan selama ini penegakan hukum seperti dilakukan KPK belum sepenuhnya berhasil mengentas persoalan korupsi. Penindakan oleh KPK hanya menyentuh aspek perbuatan oknum koruptor. Belum kita jumpai rangkaian usaha lebih jauh untuk menyelidiki penyebab atau motif-motif seorang oknum dalam melakukan korupsi. Barangkali kerja KPK hanya dalam batas-batas itu saja. Artinya tidak mungkin KPK melakukan penelusuran lebih jauh untuk mencari persoalan mendasar yang menjadi penyebab utama maraknya korupsi. 

Sampai disini ilmu hukum dan ilmu ekonomi sudah dipastikan tak akan sanggup berbuat apa-apa. Keduanya tidak mungkin sanggup masuk lebih jauh untuk mencari akar persoalan. Maka disinilah kita memerlukan filsafat. Dengan pendekatan filsafat kita akan membedah motif-motif, mencari sebab-sebab, dan kemungkinan-kemungkinan yang begitu dominan mempengaruhi perilaku seorang koruptor. Misalnya, pertama kali kita bisa saja menduga orang yang melakukan korupsi disebabkan karena yang bersangkutan tidak memiliki kesadaran hukum. Namun benarkah seorang koruptor tidak berkesadaran hukum? Filsafat bisa mengajukan pertanyaan dengan model seperti itu. Seorang koruptor kita ketahui umumnya adalah politisi yang merangkap sebagai anggota parlemen. Kitapun mengetahui tiap anggota parlemen terlibat secara penuh dalam pembahasan aturan hukum. Maka mustahil bila dikatakan seorang koruptor tidak memiliki kesadaran hukum. Filsafat pasti menolak anggapan semacam itu.

Filsafat harus bergerak lebih jauh mencari penyebab lain. Misalnya anda melakukan korupsi karena didorong oleh kebutuhan biaya kontestasi dalam demokrasi yang sangat mahal. Disini kemungkinan besar juga telah terjadi kekeliruan perumusan aturan-aturan karena masih memberikan celah begitu longgar terhadap praktik jual beli suara. Atau, bisa juga karena lemahnya kontrol masyarakat. Lebih parah lagi praktik jual beli suara tersebut belakangan justru sering dipandang sebagai kelumrahan dalam demokrasi. Dengan gejala demikian, filsafat bisa mengajukan satu hipotesa awal bahwa salah satu penyebab utama dari maraknya korupsi adalah karena budaya masyarakat kita yang sedang sakit. Masyarakat kita mendiamkan praktik jual beli suara. Bisa anda bayangkan selanjutnya, bagaimana sikap seorang politisi yang berangkat dan masuk menjadi anggota parlemen dengan cara-cara tak terpuji. Ujung-ujungnya lahirlah lingkaran setan baru yang sambung menyambung untuk melestarikan budaya korupsi.

Cara kerja filsafat tentu tidak akan berhenti sampai disini saja. Filsafat harus kembali menemukan perspektif lain. Jika dikatakan budaya masyarakat yang sedang sakit, filsafat harus mencari alternatif penawarnya. Misalnya kita bisa melihat beragam konteks yang dominan mempengaruhi pandangan hidup masyarakat. Kita tahu pandangan hidup itulah yang menjadi penyusun utama dari budaya. Inilah barangkali akar persoalannya. Pandangan hidup yang sangat berpengaruh terhadap pola pikir masyarakat dalam memaknai hidup. Perkara ini tentu tak akan lepas dari persoalan pemahaman yang terkait erat dengan faktor keilmuan. Sekarang, darimana masyarakat memperoleh ilmu? Tentu dari lembaga pendidikan yang tidak terbatas didalam lingkungan sekolah dan universitas saja. Kita tahu pendidikan yang menanamkan dan mentransmisikan berbagai macam disiplin ilmu dan dengan itu pula masyarakat kita terbentuk dan menjadi. 

Ada adagium lain yang ingin saya sampaikan disini, bahwa masyarakat yang rusak akan melahirkan pemimpin yang juga rusak. Sebuah ungkapan filosofis. Anda bisa mencermatinya dengan seksama betapa ungkapan itu sanggup memetakan keseluruhan persoalan kemasyarakatan dan pemerintahan yang tengah kita hadapi saat ini. Dengan bahasa lain ungkapan tersebut dapat kita ucapkan: mungkinkah dari masyarakat yang rusak dan sakit akan lahir pemimpin yang baik? Dalam pertimbangan akal sehat mustahil akan lahir pemimpin yang baik, amanah, dan bijak dari rahim masyarakat yang sakit. Walaupun kemungkinan-kemungkinan lain bisa saja terjadi melampaui kuasa rasionalitas. Artinya, bisa saja dari masyarakat jahiliyah tersebut akan lahir pemimpin yang baik. Tak usah jauh-jauh, Nabi SAW dulu lahir ditengah kondisi masyarakat Quraisy yang terkenal sebagai kaum penyembah berhala dan berhiaskan diri dengan adab yang sangat buruk dan anehnya nyaris serupa dengan situasi sosial saat ini. 

Cara kerja filsafat yang mengakar dan tak tanggung-tanggung akan banyak membantu menyelesaikan persoalan-persoalan yang sedang merebak dalam tiap ruang dan sekat-sekat kehidupan masyarakat kita saat ini. Walaupun sifatnya spekulatif namun dengan filsafat kita akan mendapatkan manfaat besar. Kita akan memperoleh berbagai macam perspektif dan peluang penyelesaian masalah akan terbuka dan itu akan mengembalikan keyakinan kita bahwa tak ada satupun persoalan yang tak bisa diatasi selagi kita bersungguh-sungguh mencari jalan keluar termasuk dengan memakai pendekatan filsafat.
 


No comments: