Demokrasi bagi peradaban barat saat ini adalah harga mati.
Bahkan Francis Fukuyama (1992) menyebut demokrasi sebagai titik akhir evolusi
(perjalanan) ideologi manusia dan bentuk final pemerintahan mereka. Fukuyama
beruntung karena generalisasi empirisnya itu memperoleh justifikasi otentik
dari Samuel Huntington (1991) yang mencatat bahwa antara 1974 hingga 1992
terdapat tiga puluh negara yang mengalami proses transisi ke demokrasi antara
lain seperti Spanyol, Portugal, Yunani, Brazil, Argentina, Ceko, Rumania, Polandia,
dan Boswana di Afrika.
Konstruksi Demokrasi
Proses konstruksi demokrasi dalam tradisi barat tentu tidak
terlepas dari situasi sosial politik yang berkembang saat itu. Lord Acton (1887)
misalnya menyebut: power tends corrupt, but absolute power corrupts absolutely
(manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan
itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan
menyalahgunakannya secara tak terbatas pula). Adagium terkenal Acton ini
mengungkap secara gamblang situasi sosial politik masyarakat barat sehingga
bagi Miriam Budiardjo (2008) keadaan tersebut menjadi penanda hilangnya ide
demokrasi Yunani Kuno berganti dengan abad feodal terutama sejak bangsa Romawi
dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat. Struktur sosial-spiritual masyarakat
Barat sejak saat itu berada dibawah hegemoni Paus dan pejabat-pejabat gereja.
Sementara kehidupan politiknya dominan diwarnai dengan perebutan kekuasaan
antara para bangsawan. Bersama itu pula berkembang pandangan anti semit di
seantero Eropa. Kaum Yahudi diburu dan banyak menjadi korban inkuisisi.
Eropa seperti disebut Samuel Huntington kemudian secara
berturut-turut mengalami fase renaisans, reformasi, pencerahan, revolusi Perancis
dan revolusi industri. Sehingga demokrasi dalam mileu semacam itu berakar dari akumulasi
beragam gagasan dan tindakan nyata untuk menyingkirkan dominasi kekuasaan Paus
dan gereja dari wilayah sosial politik. Demokrasi menjelma menjadi kekuatan
inti perlawanan dari arus bawah menuntut kesetaraan, kebebasan, dan kemerdekaan
dari tirani kekuasaan manusia bahkan Tuhan sekalipun. Rasionalisme dan
sekularisme juga tumbuh subur menjadi pandangan mainstream masyarakat Eropa.
Konstruksi demokrasi di Indonesia sepertinya juga tak lepas
dari pengaruh situasi sosial politik yang selama berabad-abad terjajah secara
fisik, moral, dan fikiran. Pada awal pengenalannya terhadap demokrasi,
Indonesia dibawah Soekarno memantapkan diri untuk mengadopsi demokrasi parlementer
persis seperti dianut Belanda. Dari demokrasi parlementer kemudian berganti
dengan demokrasi terpimpin yang diklasifikasikan Miriam Budiardjo (2008) sebagai
sistem otokrasi: pemaksaan kehendak pemimpin dan kultus individu mirip
kedudukan seorang maharaja dalam sistem pemerintahan kerajaan. Baru setelah peristiwa
G 30 S PKI pada 1965 Indonesia kemudian menganut Demokrasi konstitusional
berdasar Pancasila. Perubahan corak demokrasi seperti ini menguatkan hipotesa
Bahtiar Effendi (2011) jauh-jauh hari setelahnya bahwa konsep dan praktik
demokrasi digerakkan oleh konstruk sosiologis dan budaya masyarakat setempat.
Dengan kata lain praktik demokrasi sah-sah saja berbeda antara satu negara
dengan negara lainnya.
Namun yang penting dicatat disini bahwa sejak demokrasi
diberlakukan saat itu maka secara formal ideologis para founding father telah
mendefinisikan jati diri bangsa kita ini sebagai bagian dari peradaban barat
termasuk sistem ekonomi, sosial, dan budayanya. Padahal, Indonesia tidak memiliki
latar belakang sejarah sosial budaya yang sama dengan masyarakat barat.
Demokrasi yang lahir dari rahim peradaban barat telah melalui proses historis
yang mencatat kekacauan sistem pemerintahan dan kehidupan sosial politik akibat
hegemoni gereja dan kekuasaan raja-raja serta kaum bangsawan despotik. Sebagai
bangsa yang baru merdeka barangkali para founding father saat itu tidak
memiliki kepercayaan diri untuk menggagas ideologi dan sistem pemerintahan
original yang digali dari pandangan dunia masyarakat Indonesia sendiri.
Para founding father saat itu kemungkinan besar hanya mencomot
dan menerapkan begitu saja apa yang mereka saksikan dari praktik demokrasi
bangsa-bangsa penjajah di negara mereka masing-masing. Atau, bisa jadi hanya
sekedar melakukan proyek tambal sulam ideologi dan sistem pemerintahan lalu
dikawinkan dengan beberapa bagian kecil dari cara pandang masyarakat Indonesia
sendiri. Tak heran akibat faktor terakhir tersebut akhirnya pada jaman sekarang
muncul begitu banyak klaim eksklusif yang datang bertubi-tubi dari pemeluk
agama-agama yang hidup di Indonesia. Masing-masing mengklaim Pancasila sebagai landasan
demokrasi konstitusional yang dianut Indonesia bersumber dari tradisi dan ajaran
agama mereka.
Terlepas dari klaim dan perdebatan tak kunjung padam tersebut
disisi lain kita melihat ternyata ideologi politik, ekonomi, dan sosial sejatinya
sedang dalam proses atau bahkan telah selesai menjadi. Kalau orang-orang barat
mendirikan partai kita pun sejak kemerdekaan telah mendirikan partai. Mereka
memilih kepala negara melalui pemilu kita pun demikian. Jika mereka
memprivatisasi agama sesuai tuntunan sekularisme maka kita juga melakukannya. Jika
barat menghendaki kehidupan pers yang bebas –walau tidak pernah ada yang
menjelaskan: apakah kebebasan yang dimaksud dalam arti bebas memihak atau
benar-benar bebas dari interest ideologi dan politik- maka saat ini pers
Indonesia juga bebas. Kalau barat membuka lebar-lebar pintu investasi asing
kita pun juga sama seperti mereka. Walaupun untuk satu hal terakhir ini
pertimbangannya lebih disebabkan karena faktor kekurangan dana, ketertinggalan
tekhnologi, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan gerakan pelestarian kepentingan
asing juga tentunya.
Yang mengejutkan ternyata demokrasi dalam pandangan
masyarakat barat bukan sekedar ideologi dari sistem pemerintahan. Henry B. Mayo
(1960) menyebut demokrasi bagi masyarakat barat juga merupakan gaya hidup (way
of life) serta tata masyarakat tertentu yang karena itu juga mengandung
unsur-unsur moral. Salah satu asumsi moral yang menonjol akhir-akhir ini bahwa demokrasi
menganggap wajar dan mengakui adanya keanekaragaman (diversity). Keanekaragaman
yang dimaksud disini pastilah meliputi segala macam urusan mulai dari agama,
ideologi, sosial budaya, ekonomi dan seterusnya.
Dengan kenyataan semacam itu kedigdayaan demokrasi pada
dataran konseptual-teoritis memang sulit tertandingi. Tesis Fukuyama di atas
sepertinya bukan pepesan kosong. Demokrasi sebagai ideologi politik dan gaya
hidup sukar mendapatkan pesaing dari ideologi lain. Terlebih kita juga melihat
watak dan karakter khas demokrasi memang menjadikan kekuasaan tidak berpusat
pada satu orang atau satu lembaga saja. Kekuasaan dibagi habis kepada berbagai
lembaga mulai pusat sampai daerah. Negara berfungsi sebagai penampung aspirasi.
Pada saat yang sama negara juga menjadi mesin pengolah limbah aspirasi yang dimanfaatkan
sebagai dasar perumusan kebijakan dan aturan-aturan hukum lain. Tak heran sejak
reformasi Indonesia sering disebut-sebut sedang memasuki fase konsolidasi
demokrasi. Dan fase ini menjadi berkah tersendiri bagi multikulturalisme dan
pluralisme. Lambat laun keduanya tumbuh subur walaupun tak pernah sepi dari
berbagai kritik.
Anomali Demokrasi
Bahwa eksistensi demokrasi sebagai ideologi dan gaya hidup dalam
praktiknya ternyata banyak mengandung cacat yang patut kita renungkan bersama. Misalnya
saja lembaga pemilu sebagai anak kandung demokrasi yang berfungsi sebagai mekanisme
pemilihan penguasa secara damai dalam praktik dilapangan terbukti banyak sekali
dijumpai apa yang disebut oleh Thomas Kuhn (1962) sebagai anomali atau
penyimpangan. Yang paling kasat mata adalah praktik jual beli suara. Padahal,
anda tahu demokrasi oleh Fukuyama sudah terlanjur disiarkan sebagai bentuk
final dan ideal dari sistem pemerintahan masyarakat dunia. Kata final disini bisa
ditafsirkan sebagai usahanya untuk meletakkan demokrasi sebagai ideologi
superior dan tidak akan ada lagi ideologi lain yang lebih baik.
Namun, klaim Fukuyama itu akhirnya mentah dengan sendirinya begitu
berhadapan dengan praktik para pelaku demokrasi dilapangan. Fukuyama harusnya
tahu bahwa sikap para pelaku demokrasi persis seperti pedagang sapi. Sebuah kelemahan
yang begitu mencolok karena di dataran praktis suara pemilih diperlakukan sama
persis seperti barang ekonomi (komoditas). Suara anda dibeli oleh para
politikus secara partai atau eceran dipinggir-pinggir jalan. Celakanya ini
sulit sekali terendus oleh hukum. Anomali demokrasi ini terkesan dibiarkan
begitu saja sampai mengkristal menjadi fenomena budaya yang termapankan.
Padahal penyimpangan tersebut menjadi akar dari tumbuh suburnya praktik-praktik
kejahahatan kerah putih lain semisal korupsi sistemik yang dilakukan secara
perorangan atau berjamaah. Lebih gila lagi, masyarakat kita tidak keberatan
menggadaikan suara. Jadi bisa dikatakan: demokrasi pada awalnya uang dan
ujung-ujungnya juga uang. Demokrasi adalah mesin uang.
Anomali berikutnya dari demokrasi adalah ketika ia dipakai
sebagai cara pandang masyarakat barat dalam mendefinisikan masyarakat non
barat. Demokrasi anda tahu sering diantagoniskan dengan sistem pemerintahan
despotik dan otoriter. Asumsi yang dikembangkan kemudian: jika menolak demokrasi
maka akan disebut otoriter. Bahkan tidak hanya sampai disitu saja. Suatu negara
yang menolak menganut demokrasi akan dipinggirkan dari pergaulan internasional dan
dimusuhi. Negara itu akan rentan mendapat sanksi dari komunitas-komunitas atau
organisasi-organisasi dunia yang telah bersekutu dalam blok demokrasi. Ini
fenomena ganjil sebenarnya. Karena apabila kita perhatikan klaim Henry B. Mayo yang
menyebut demokrasi mengandung unsur-unsur moral yang mengakui serta menganggap
wajar adanya keanekaragaman (diversity) jelas akan dirasakan sangat kontradiktif.
Bagaimana mungkin demokrasi dapat disebut menganggap wajar
adanya keanekaragaman jika pada kenyataannya justru tidak sanggup menerima
kenyataan adanya “the other” -berbagai
ideologi yang dianut negara-negara lain di dunia ini? Demokrasi tidak konsisten
dengan moral universal yang ingin ditegakkannya sendiri. Malahan yang terjadi
sebaliknya demokrasi terlalu sering menghakimi ideologi-ideologi lain. Ini tentu
hal yang tidak masuk akal dan patut dipertanyakan. Jangan-jangan demokrasi
sebetulnya otoritarianisme dalam bentuk lain. Demokrasi lancang mengklaim
sebagai satu-satunya pusat kearifan dan kebenaran dalam ideologi dan sistem
politik.
Bukankah latar belakang sosial budaya yang jelas-jelas
berbeda dari tiap-tiap komunitas masyarakat bangsa di dunia ini secara alamiah
akan melahirkan ideologi yang juga berbeda? Demikian juga perbedaaan latar
belakang kesejarahan masing-masing bangsa juga akan sangat berpengaruh pada penentuan
pola pemerintahan yang dipandang lebih kompatibel bagi mereka sendiri. Inilah
hal-hal yang sengaja diabaikan oleh mata demokrasi. Belum tentu ketika
demokrasi berhasil di Amerika dan Eropa lantas akan juga berhasil di Afrika dan
Asia. Ini problem serius yang harus segera dipikirkan agar bangsa manapun
didunia ini tidak memaksakan diri menerapkan demokrasi kalau pada kenyataannya
justru menyuburkan praktik korupsi.
Demokrasi terbukti juga melahirkan politikus-politikus
karbitan yang hanya mengandalkan uang untuk mengejar kemenangan instan dan
superfisial. Yang dipikirkan politikus-politikus karbitan itu pada akhirnya bukan
pemerataan kesejahteraan rakyat, pendidikan murah, dan harga-harga terjangkau.
Mereka akan lebih sibuk mengakali anggaran untuk mengamankan kepentingan
politik dan menumpuk kekayaan. Maka jangan heran jika lembaga perwakilan kita
akan mirip dengan pasar sapi mingguan yang biasanya penuh dengan makelar dan
para spekulan. Kasus-kasus korupsi yang banyak terungkap belakangan ini
menunjukkan secara terang-benderang bagaimana sebetulnya hakikat dari
demokrasi. Maka aneh saja jika Fukuyama atau Huntington dengan percaya diri
menyebut demokrasi sebagai standar ideologi politik pemerintahan universal.
Saya pikir mereka perlu turun ke
lapangan membuka mata dengan menyaksikan bagaimana sebetulnya praktik demokrasi
dipelbagai negara termasuk di negara mereka sendiri tentunya.
Demokrasi secara konseptual juga mensyaratkan adanya kebebasan
pers dan media massa dalam kehidupan negara. Ketika saya menyebut media massa
tentu yang dimaksud bukan semata lembaran kertas koran, tayangan audio visual,
dan opini-opini yang berserakan di media. Yang saya maksud dengan media juga
meliputi struktur organisasi dalam wadah perusahaan tertentu. Jadi bicara media
sama dengan bicara para awak media sekaligus pemegang kendalinya termasuk
pemilik maupun dewan redaksi. Media sering dikeluhkan bekerja secara tidak adil
karena memihak dan tunduk bukan pada kepentingan publik. Media tak jarang
menurunkan berita dengan konten yang keluar dari proporsi etika jurnalistik. Jangan
heran jika belakangan muncul istilah “media
darling”. Jadi kemanapun si media darling pergi maka sorot kamera akan
mengikutinya. Sementara yang bukan media darling tidak akan pernah mendapat
porsi pemberitaan sebagaimana mestinya.
Anda tahu insan media juga manusia. Mereka mempunyai interest
pribadi yang besar pengaruhnya terhadap muatan berita. Para awak media itu
memiliki pandangan hidup yang pasti dipengaruhi oleh latar belakang kelas dan
identitas. Apakah anda berfikir mereka bisa murni lepas dari pengaruh conflict
of interest dalam arti bebas dari keberpihakan? Saya kira anda terlalu lugu
apabila menganggap media bisa bebas dari bermacam kepentingan dan merdeka dari
tarikan beragam motif-motif laten lainnya. Bisa saja mereka sebetulnya
merupakan kekuatan politik bayangan yang memback-up gerakan-gerakan politik
tertentu. Orang yang memiliki pandangan awas dan jeli pasti bisa dengan mudah
mendapatkan jejak anomali media dalam penyajian berita kepada khalayak.
Media massa dalam milieu demokrasi menempati posisi strategis
terutama dalam mempengaruhi dan mengendalikan persepsi publik. Media bisa memoles
seseorang nampak sebagai manusia humanis berhati malaikat dan sebaliknya media
juga tidak kesulitan untuk mencoreng manusia yang sebenarnya baik menjadi
terlihat jahat dan buas. Media massa menyimpan kekuatan dahsyat dan tidak dapat
diremehkan. Oleh karena itu politikus cerdik tahu dengan pasti bagaimana
memanfaatkan media untuk memuluskan rencananya. Mereka tidak akan canggung
memanfaatkan media. Atau sebaliknya media yang berkepentingan memoles seorang
tokoh sesuai kepentingan sendiri. Ini semua sedang dan akan terus terjadi.
Jadi itulah “kelaziman-kelaziman” dalam alam demokrasi. Oleh
karenanya saya harap anda tak terkejut. Tak perlu heran mendapati kenyataan
bahwa demokrasi tidak sesakral yang anda bayangkan. Demokrasi hari ini tidak sama
persis dengan catatan dalam buku-buku pelajaran anak-anak sekolahan. Demokrasi
juga tidak identik dengan ceramah profesor-profesor ilmu politik dan hukum yang
biasanya sampai berbusa-busa mendoktrinkan demokrasi sebagai sistem dan
ideologi superbaik di depan mahasiswa-mahasiswinya. Oleh karena itu anggap saja
demokrasi sebagai perspektif yang sifatnya relatif. Artinya tidak perlu
memutlak-universalkan demokrasi. Anda bebas merdeka memungut beragam perspektif
yang berserakan diluar sana. Jangan sampai menganggap demokrasi sebagai harga
mati karena saya khawatir itu akan berarti bunuh diri.
No comments:
Post a Comment