Blog is Power

Sunday, April 21, 2013

Demokrasi



Demokrasi bagi peradaban barat saat ini adalah harga mati. Bahkan Francis Fukuyama (1992) menyebut demokrasi sebagai titik akhir evolusi (perjalanan) ideologi manusia dan bentuk final pemerintahan mereka. Fukuyama beruntung karena generalisasi empirisnya itu memperoleh justifikasi otentik dari Samuel Huntington (1991) yang mencatat bahwa antara 1974 hingga 1992 terdapat tiga puluh negara yang mengalami proses transisi ke demokrasi antara lain seperti Spanyol, Portugal, Yunani, Brazil, Argentina, Ceko, Rumania, Polandia, dan Boswana di Afrika. 

Konstruksi Demokrasi

Proses konstruksi demokrasi dalam tradisi barat tentu tidak terlepas dari situasi sosial politik yang berkembang saat itu. Lord Acton (1887) misalnya menyebut: power tends corrupt, but absolute power corrupts absolutely (manusia yang mempunyai kekuasaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya secara tak terbatas pula). Adagium terkenal Acton ini mengungkap secara gamblang situasi sosial politik masyarakat barat sehingga bagi Miriam Budiardjo (2008) keadaan tersebut menjadi penanda hilangnya ide demokrasi Yunani Kuno berganti dengan abad feodal terutama sejak bangsa Romawi dikalahkan oleh suku bangsa Eropa Barat. Struktur sosial-spiritual masyarakat Barat sejak saat itu berada dibawah hegemoni Paus dan pejabat-pejabat gereja. Sementara kehidupan politiknya dominan diwarnai dengan perebutan kekuasaan antara para bangsawan. Bersama itu pula berkembang pandangan anti semit di seantero Eropa. Kaum Yahudi diburu dan banyak menjadi korban inkuisisi. 

Eropa seperti disebut Samuel Huntington kemudian secara berturut-turut mengalami fase renaisans, reformasi, pencerahan, revolusi Perancis dan revolusi industri. Sehingga demokrasi dalam mileu semacam itu berakar dari akumulasi beragam gagasan dan tindakan nyata untuk menyingkirkan dominasi kekuasaan Paus dan gereja dari wilayah sosial politik. Demokrasi menjelma menjadi kekuatan inti perlawanan dari arus bawah menuntut kesetaraan, kebebasan, dan kemerdekaan dari tirani kekuasaan manusia bahkan Tuhan sekalipun. Rasionalisme dan sekularisme juga tumbuh subur menjadi pandangan mainstream masyarakat Eropa.    

Konstruksi demokrasi di Indonesia sepertinya juga tak lepas dari pengaruh situasi sosial politik yang selama berabad-abad terjajah secara fisik, moral, dan fikiran. Pada awal pengenalannya terhadap demokrasi, Indonesia dibawah Soekarno memantapkan diri untuk mengadopsi demokrasi parlementer persis seperti dianut Belanda. Dari demokrasi parlementer kemudian berganti dengan demokrasi terpimpin yang diklasifikasikan Miriam Budiardjo (2008) sebagai sistem otokrasi: pemaksaan kehendak pemimpin dan kultus individu mirip kedudukan seorang maharaja dalam sistem pemerintahan kerajaan. Baru setelah peristiwa G 30 S PKI pada 1965 Indonesia kemudian menganut Demokrasi konstitusional berdasar Pancasila. Perubahan corak demokrasi seperti ini menguatkan hipotesa Bahtiar Effendi (2011) jauh-jauh hari setelahnya bahwa konsep dan praktik demokrasi digerakkan oleh konstruk sosiologis dan budaya masyarakat setempat. Dengan kata lain praktik demokrasi sah-sah saja berbeda antara satu negara dengan negara lainnya.

Namun yang penting dicatat disini bahwa sejak demokrasi diberlakukan saat itu maka secara formal ideologis para founding father telah mendefinisikan jati diri bangsa kita ini sebagai bagian dari peradaban barat termasuk sistem ekonomi, sosial, dan budayanya. Padahal, Indonesia tidak memiliki latar belakang sejarah sosial budaya yang sama dengan masyarakat barat. Demokrasi yang lahir dari rahim peradaban barat telah melalui proses historis yang mencatat kekacauan sistem pemerintahan dan kehidupan sosial politik akibat hegemoni gereja dan kekuasaan raja-raja serta kaum bangsawan despotik. Sebagai bangsa yang baru merdeka barangkali para founding father saat itu tidak memiliki kepercayaan diri untuk menggagas ideologi dan sistem pemerintahan original yang digali dari pandangan dunia masyarakat Indonesia sendiri. 

Para founding father saat itu kemungkinan besar hanya mencomot dan menerapkan begitu saja apa yang mereka saksikan dari praktik demokrasi bangsa-bangsa penjajah di negara mereka masing-masing. Atau, bisa jadi hanya sekedar melakukan proyek tambal sulam ideologi dan sistem pemerintahan lalu dikawinkan dengan beberapa bagian kecil dari cara pandang masyarakat Indonesia sendiri. Tak heran akibat faktor terakhir tersebut akhirnya pada jaman sekarang muncul begitu banyak klaim eksklusif yang datang bertubi-tubi dari pemeluk agama-agama yang hidup di Indonesia. Masing-masing mengklaim Pancasila sebagai landasan demokrasi konstitusional yang dianut Indonesia bersumber dari tradisi dan ajaran agama mereka. 

Terlepas dari klaim dan perdebatan tak kunjung padam tersebut disisi lain kita melihat ternyata ideologi politik, ekonomi, dan sosial sejatinya sedang dalam proses atau bahkan telah selesai menjadi. Kalau orang-orang barat mendirikan partai kita pun sejak kemerdekaan telah mendirikan partai. Mereka memilih kepala negara melalui pemilu kita pun demikian. Jika mereka memprivatisasi agama sesuai tuntunan sekularisme maka kita juga melakukannya. Jika barat menghendaki kehidupan pers yang bebas –walau tidak pernah ada yang menjelaskan: apakah kebebasan yang dimaksud dalam arti bebas memihak atau benar-benar bebas dari interest ideologi dan politik- maka saat ini pers Indonesia juga bebas. Kalau barat membuka lebar-lebar pintu investasi asing kita pun juga sama seperti mereka. Walaupun untuk satu hal terakhir ini pertimbangannya lebih disebabkan karena faktor kekurangan dana, ketertinggalan tekhnologi, rendahnya kualitas sumber daya manusia, dan gerakan pelestarian kepentingan asing juga tentunya. 

Yang mengejutkan ternyata demokrasi dalam pandangan masyarakat barat bukan sekedar ideologi dari sistem pemerintahan. Henry B. Mayo (1960) menyebut demokrasi bagi masyarakat barat juga merupakan gaya hidup (way of life) serta tata masyarakat tertentu yang karena itu juga mengandung unsur-unsur moral. Salah satu asumsi moral yang menonjol akhir-akhir ini bahwa demokrasi menganggap wajar dan mengakui adanya keanekaragaman (diversity). Keanekaragaman yang dimaksud disini pastilah meliputi segala macam urusan mulai dari agama, ideologi, sosial budaya, ekonomi dan seterusnya. 

Dengan kenyataan semacam itu kedigdayaan demokrasi pada dataran konseptual-teoritis memang sulit tertandingi. Tesis Fukuyama di atas sepertinya bukan pepesan kosong. Demokrasi sebagai ideologi politik dan gaya hidup sukar mendapatkan pesaing dari ideologi lain. Terlebih kita juga melihat watak dan karakter khas demokrasi memang menjadikan kekuasaan tidak berpusat pada satu orang atau satu lembaga saja. Kekuasaan dibagi habis kepada berbagai lembaga mulai pusat sampai daerah. Negara berfungsi sebagai penampung aspirasi. Pada saat yang sama negara juga menjadi mesin pengolah limbah aspirasi yang dimanfaatkan sebagai dasar perumusan kebijakan dan aturan-aturan hukum lain. Tak heran sejak reformasi Indonesia sering disebut-sebut sedang memasuki fase konsolidasi demokrasi. Dan fase ini menjadi berkah tersendiri bagi multikulturalisme dan pluralisme. Lambat laun keduanya tumbuh subur walaupun tak pernah sepi dari berbagai kritik. 

Anomali Demokrasi

Bahwa eksistensi demokrasi sebagai ideologi dan gaya hidup dalam praktiknya ternyata banyak mengandung cacat yang patut kita renungkan bersama. Misalnya saja lembaga pemilu sebagai anak kandung demokrasi yang berfungsi sebagai mekanisme pemilihan penguasa secara damai dalam praktik dilapangan terbukti banyak sekali dijumpai apa yang disebut oleh Thomas Kuhn (1962) sebagai anomali atau penyimpangan. Yang paling kasat mata adalah praktik jual beli suara. Padahal, anda tahu demokrasi oleh Fukuyama sudah terlanjur disiarkan sebagai bentuk final dan ideal dari sistem pemerintahan masyarakat dunia. Kata final disini bisa ditafsirkan sebagai usahanya untuk meletakkan demokrasi sebagai ideologi superior dan tidak akan ada lagi ideologi lain yang lebih baik.

Namun, klaim Fukuyama itu akhirnya mentah dengan sendirinya begitu berhadapan dengan praktik para pelaku demokrasi dilapangan. Fukuyama harusnya tahu bahwa sikap para pelaku demokrasi persis seperti pedagang sapi. Sebuah kelemahan yang begitu mencolok karena di dataran praktis suara pemilih diperlakukan sama persis seperti barang ekonomi (komoditas). Suara anda dibeli oleh para politikus secara partai atau eceran dipinggir-pinggir jalan. Celakanya ini sulit sekali terendus oleh hukum. Anomali demokrasi ini terkesan dibiarkan begitu saja sampai mengkristal menjadi fenomena budaya yang termapankan. Padahal penyimpangan tersebut menjadi akar dari tumbuh suburnya praktik-praktik kejahahatan kerah putih lain semisal korupsi sistemik yang dilakukan secara perorangan atau berjamaah. Lebih gila lagi, masyarakat kita tidak keberatan menggadaikan suara. Jadi bisa dikatakan: demokrasi pada awalnya uang dan ujung-ujungnya juga uang. Demokrasi adalah mesin uang. 

Anomali berikutnya dari demokrasi adalah ketika ia dipakai sebagai cara pandang masyarakat barat dalam mendefinisikan masyarakat non barat. Demokrasi anda tahu sering diantagoniskan dengan sistem pemerintahan despotik dan otoriter. Asumsi yang dikembangkan kemudian: jika menolak demokrasi maka akan disebut otoriter. Bahkan tidak hanya sampai disitu saja. Suatu negara yang menolak menganut demokrasi akan dipinggirkan dari pergaulan internasional dan dimusuhi. Negara itu akan rentan mendapat sanksi dari komunitas-komunitas atau organisasi-organisasi dunia yang telah bersekutu dalam blok demokrasi. Ini fenomena ganjil sebenarnya. Karena apabila kita perhatikan klaim Henry B. Mayo yang menyebut demokrasi mengandung unsur-unsur moral yang mengakui serta menganggap wajar adanya keanekaragaman (diversity) jelas akan dirasakan sangat kontradiktif. 

Bagaimana mungkin demokrasi dapat disebut menganggap wajar adanya keanekaragaman jika pada kenyataannya justru tidak sanggup menerima kenyataan adanya “the other” -berbagai ideologi yang dianut negara-negara lain di dunia ini? Demokrasi tidak konsisten dengan moral universal yang ingin ditegakkannya sendiri. Malahan yang terjadi sebaliknya demokrasi terlalu sering menghakimi ideologi-ideologi lain. Ini tentu hal yang tidak masuk akal dan patut dipertanyakan. Jangan-jangan demokrasi sebetulnya otoritarianisme dalam bentuk lain. Demokrasi lancang mengklaim sebagai satu-satunya pusat kearifan dan kebenaran dalam ideologi dan sistem politik. 

Bukankah latar belakang sosial budaya yang jelas-jelas berbeda dari tiap-tiap komunitas masyarakat bangsa di dunia ini secara alamiah akan melahirkan ideologi yang juga berbeda? Demikian juga perbedaaan latar belakang kesejarahan masing-masing bangsa juga akan sangat berpengaruh pada penentuan pola pemerintahan yang dipandang lebih kompatibel bagi mereka sendiri. Inilah hal-hal yang sengaja diabaikan oleh mata demokrasi. Belum tentu ketika demokrasi berhasil di Amerika dan Eropa lantas akan juga berhasil di Afrika dan Asia. Ini problem serius yang harus segera dipikirkan agar bangsa manapun didunia ini tidak memaksakan diri menerapkan demokrasi kalau pada kenyataannya justru menyuburkan praktik korupsi. 

Demokrasi terbukti juga melahirkan politikus-politikus karbitan yang hanya mengandalkan uang untuk mengejar kemenangan instan dan superfisial. Yang dipikirkan politikus-politikus karbitan itu pada akhirnya bukan pemerataan kesejahteraan rakyat, pendidikan murah, dan harga-harga terjangkau. Mereka akan lebih sibuk mengakali anggaran untuk mengamankan kepentingan politik dan menumpuk kekayaan. Maka jangan heran jika lembaga perwakilan kita akan mirip dengan pasar sapi mingguan yang biasanya penuh dengan makelar dan para spekulan. Kasus-kasus korupsi yang banyak terungkap belakangan ini menunjukkan secara terang-benderang bagaimana sebetulnya hakikat dari demokrasi. Maka aneh saja jika Fukuyama atau Huntington dengan percaya diri menyebut demokrasi sebagai standar ideologi politik pemerintahan universal. Saya pikir mereka  perlu turun ke lapangan membuka mata dengan menyaksikan bagaimana sebetulnya praktik demokrasi dipelbagai negara termasuk di negara mereka sendiri tentunya. 

Demokrasi secara konseptual juga mensyaratkan adanya kebebasan pers dan media massa dalam kehidupan negara. Ketika saya menyebut media massa tentu yang dimaksud bukan semata lembaran kertas koran, tayangan audio visual, dan opini-opini yang berserakan di media. Yang saya maksud dengan media juga meliputi struktur organisasi dalam wadah perusahaan tertentu. Jadi bicara media sama dengan bicara para awak media sekaligus pemegang kendalinya termasuk pemilik maupun dewan redaksi. Media sering dikeluhkan bekerja secara tidak adil karena memihak dan tunduk bukan pada kepentingan publik. Media tak jarang menurunkan berita dengan konten yang keluar dari proporsi etika jurnalistik. Jangan heran jika belakangan muncul istilah “media darling”. Jadi kemanapun si media darling pergi maka sorot kamera akan mengikutinya. Sementara yang bukan media darling tidak akan pernah mendapat porsi pemberitaan sebagaimana mestinya. 

Anda tahu insan media juga manusia. Mereka mempunyai interest pribadi yang besar pengaruhnya terhadap muatan berita. Para awak media itu memiliki pandangan hidup yang pasti dipengaruhi oleh latar belakang kelas dan identitas. Apakah anda berfikir mereka bisa murni lepas dari pengaruh conflict of interest dalam arti bebas dari keberpihakan? Saya kira anda terlalu lugu apabila menganggap media bisa bebas dari bermacam kepentingan dan merdeka dari tarikan beragam motif-motif laten lainnya. Bisa saja mereka sebetulnya merupakan kekuatan politik bayangan yang memback-up gerakan-gerakan politik tertentu. Orang yang memiliki pandangan awas dan jeli pasti bisa dengan mudah mendapatkan jejak anomali media dalam penyajian berita kepada khalayak. 

Media massa dalam milieu demokrasi menempati posisi strategis terutama dalam mempengaruhi dan mengendalikan persepsi publik. Media bisa memoles seseorang nampak sebagai manusia humanis berhati malaikat dan sebaliknya media juga tidak kesulitan untuk mencoreng manusia yang sebenarnya baik menjadi terlihat jahat dan buas. Media massa menyimpan kekuatan dahsyat dan tidak dapat diremehkan. Oleh karena itu politikus cerdik tahu dengan pasti bagaimana memanfaatkan media untuk memuluskan rencananya. Mereka tidak akan canggung memanfaatkan media. Atau sebaliknya media yang berkepentingan memoles seorang tokoh sesuai kepentingan sendiri. Ini semua sedang dan akan terus terjadi.

Jadi itulah “kelaziman-kelaziman” dalam alam demokrasi. Oleh karenanya saya harap anda tak terkejut. Tak perlu heran mendapati kenyataan bahwa demokrasi tidak sesakral yang anda bayangkan. Demokrasi hari ini tidak sama persis dengan catatan dalam buku-buku pelajaran anak-anak sekolahan. Demokrasi juga tidak identik dengan ceramah profesor-profesor ilmu politik dan hukum yang biasanya sampai berbusa-busa mendoktrinkan demokrasi sebagai sistem dan ideologi superbaik di depan mahasiswa-mahasiswinya. Oleh karena itu anggap saja demokrasi sebagai perspektif yang sifatnya relatif. Artinya tidak perlu memutlak-universalkan demokrasi. Anda bebas merdeka memungut beragam perspektif yang berserakan diluar sana. Jangan sampai menganggap demokrasi sebagai harga mati karena saya khawatir itu akan berarti bunuh diri. 

No comments: