Sesungguhnya orang yang
tidak memiliki pengetahuan dalam ilmu logika, tidak dapat dipercaya ilmunya
(Al-Ghazali)
Menurut pengakuan Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Munqidz min
Al-Dhalal seperti dikutip Saeful Anwar (2007), ia yang genius dan kritis sejak
kecil menghadapi banyak masalah agama, aliran yang kontroversial dalam Islam
seperti mutakallimin, filosof, Ta’limiyah dan kaum sufi yang masing-masing
mengklaim alirannyalah yang benar, padahal Al-Ghazali mendengar hadits bahwa
yang selamat hanya satu dan bahwa manusia dilahirkam diatas fitrah yang
kemudian menjadi Yahudi, Nasrani atau Majuzi karena didikan (taklid) orang
tuanya. Inilah yang menimbulkan skeptik dalam dirinya tentang mana kebenaran
yang tunggal dan apa kriterianya, serta dorongan yang kuat untuk mencari dan
menemukan ilmu yaqini sebagai kebenaran tunggal yang pasti dan universal
berdasarkan standar ilmiah yang pasti dan universal pula. Dari sini ia terjun
menyelami semua aliran sampai jantungnya yang paling dalam.
Saeful Anwar (2007) menulis bahwa dengan latar belakang
tersebut membuat Al-Ghazali muncul sebagai seorang sufi filosof yang mutakallim
dan faqih besar yang oleh al-Maraghi disebut sebagai “ensiklopedi” semua cabang
ilmu pengetahuan dimasanya. Tokoh intelektual yang komprehensif seperti ini
sangat dimungkinkan muncul sebagai filosof yang mendekati segala sesuatu secara
holistik-integral dan radikal-esensial, sekaligus sebagai tokoh konvergensi berbagai
aliran. Ternyata Al-Ghazali telah mampu mengintegrasikan teologi, fiqh, dan
tasawwuf, bahkan antara agama dan filsafat serta nilai dan sains.
Kesalahpahaman orang terhadap pribadi Al-Ghazali memang
banyak terjadi. Selama ini banyak orang mengira Al-Ghazali adalah seorang ulama
sebagaimana ulama lain yang meletakkan ilmu tafsir, hadits, ushul fiqh, dan tasawwuf
sebagai standar keilmuan. Padahal Al-Ghazali
adalah seorang filosof sejati. Logikanya sederhana saja: kalau Al-Ghazali bukan
seorang filosof, bagaimana mungkin ia
sanggup menulis Tahafut Al-Falasifah –sebuah kitab filsafat yang bertaburan
dengan paparan logika kelas tinggi dan begitu mumpuni? Memang sejak saat itu filsafat seperti mati
kutu alias tak berkutik akibat terbitnya Tahafut Al-Falasifah yang diakui banyak kalangan karena kejernihan dan kelincahannya
dalam menyingkap tabir kerancuan pemikiran para filosof. Nasr Hamid Abu Zaid
sebagaimana dikutip Aksin Wijaya (2009) adalah salah satu contoh orang yang
menyatakan bahwa sejak terbitnya Tahafut Al-Falasifah, filsafat tersingkir dari
kancah disiplin keilmuan Islam.
Anggapan yang prinsipnya hanya didasarkan pada prasangka dan
sentimen aliran tersebut sangat tidak beralasan. Hal ini didasarkan pada: Pertama, Al-Ghazali sangat menghargai
kedudukan akal dan menempatkannya dalam posisi yang terhormat sebagai bagian
dari epistemologi filsafat ilmunya. Kita tahu, filsafat bekerja dalam wilayah
akal rasional. Berfilsafat tidak sama dengan menghayal atau mengigau. Oleh
karenanya Al-Ghazali menyatakan: “Barangsiapa mendustakan akal, nyata-nyata
telah mendustakan syara’, sebab dengan akallah diketahui kebenaran syara’.
Sekiranya tidak ada kebenaran dalil akal, kita tidak akan mengetahui perbedaan
antara nabi dengan yang mengaku “nabi”, dan antara yang benar dengan yang
dusta. Bagaimana mungkin, akal didustakan oleh syara’, padahal syara’ tidak
ditetapkan (kebenaran dan kesahannya) kecuali dengan akal”. Kedua, dalam kitab al-Mustafa seperti
dikutip Saeful Anwar (2007) Al-Ghazali adalah ulama yang pertama kali
memasukkan logika kedalam kultur keilmuan Islam dan bukan saja memandang
sebagai mukaddimah ilmu-ilmu seluruhnya, tapi juga sebagai salah satu syarat
mujtahid yang hukum mempelajarinya adalah fardu kifayah bagi umat Islam.
Jika kita sepakat bahwa ilmu logika termasuk bagian atau
salah satu cabang dari filsafat, seperti juga dinyatakan Khalimi (2011) maka
ini pun menjadi faktor yang akan menampik tudingan sebagian orang terhadap
Al-Ghazali sebagai ulama yang anti filsafat. Tidak mungkin Al-Ghazali
menghukumi mempelajari ilmu logika sebagai fardhu kifayah jika pada
kenyataannya ia menolak filsafat. Tentu tidak masuk akal sesuatu yang
diharamkan hukumnya namun diadopsi menjadi bagian dari syarat mujtahid. Saya
kira Al-Ghazali tidak akan main-main dalam menentukan hukum syara’, sebab
seperti kita ketahui Al-Ghazali juga seorang ahli ushul fiqh yang pasti memahami
bagaimana melakukan ijtihad atau istimbath dengan benar.
Memang ada kecenderungan dari orang-orang yang tidak begitu
senang terhadap Al-Ghazali dengan cara menimpakan seluruh kondisi kemunduran
umat Islam kepadanya. Tetapi saya kira hal itu terlalu tendensius dan sangat
berlebihan. Ibn Khaldun seperti dikutip Saeful Anwar (2007) menyatakan bahwa
Al-Ghazali lahir pada saat kondisi sosial politik dan keilmuan Islam sedang
mengalami krisis, baik karena motivasi ideologis, etnis, dan ambisi duniawi.
Ulama pada umumnya -termasuk Al-Ghazali sampai usia tertentu- serius mencari
dan mengembangkan ilmu untuk mencapai kedudukan tinggi dimata ummat dan
penguasa. Sebaliknya, penguasa pun mendekati ulama untuk memperkuat posisinya
dimata ummat. Disisi lain kolaborasi ulama sunni dan umara’ sunni (dinasti
saljuk) ini merupakan sesuatu yang logis sebab mereka menghadapi musuh yang
sama, yaitu kaum filosof, Mu’tazilah, dan Syi’ah terutama Isma’iliyah/Batiniyah
dibawah kendali dinasti Fatimiyah di Mesir, negara Bani Sulaihi di Yaman,
Qaramithah di Bahrain dan Benteng Alamaut di utara Abbasiyah. Sementara itu,
kekuatan Kristen Eropa merupakan ancaman serius sampai meletusnya perang salib babak
pertama abad pertengahan di masa hidup Al-Ghazali (490 H/1096 M).
Hasil pengamatan Ibnu Khaldun diatas nampaknya bersesuaian
dengan sebuah adagium populer dari Al-Ghazali sendiri bahwa agama adalah pondasi dan sultan penjaganya.
Adagium ini sulit dibantah, baik secara historis maupun teoritis. Sejak
runtuhnya kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad akibat serangan brutal Hulagu
dari Mongol, maka bukan saja kekuasaan politik Islam yang luluh lantak namun perkembangan
ilmunya juga padam. Kemunduran Islam menjadi-jadi dan umat Islam saat itu
menemukan diri sedang terjangkiti sejenis penyakit akut yang dalam istilah
Rasulullah saw disebut hubb al-dunya.
Melihat keadaan tersebut Al-Ghazali tentu tak berdiam diri. Saat perang salib
berkecamuk dan umat Islam kalah, Al-Ghazali tidak menyerukan jihad fisik
(qital), Al-Ghazali justru lebih intens perhatiannya pada perbaikan mental dan
watak umat Islam yang sudah terdegradasi begitu parah. Logika Al-Ghazali jelas
benar, kondisi jiwa umat Islam yang centang perenang saat itu tidak mungkin
lagi dipertaruhkan untuk melawan pasukan Salib. Maka jalan satu-satunya untuk
mengembalikan jati diri umat Islam adalah mengembalikan mereka pada manhaj yang
sesungguhnya dengan menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Keluarlah karya
spektakuler Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin. Jihad an-Nafs menjadi populer saat
itu. Penyakit cinta dunia mulai terkikis secara perlahan berkat usaha keras
Al-Ghazali. Maka buahnya segera terlihat kemudian melalui kemenangan gemilang
Shalahuddin Al-Ayyubi mengangkangi pasukan Salib dan menyingkirkan mereka dari
bumi Palestina.
Dari kisah Al-Ghazali ini setidaknya kita dapat mengambil
hikmah dan pelajaran yang layak dan patut dipegang dijaman sekarang. Pertama,
kritiklah filsafat dengan filsafat. Kita tidak perlu melawan filsafat dengan
pedang, karena sudah bukan jamannya lagi. Al-Ghazali dulu merontokkan para
filosof dengan meminjam senjata para filosofnya sendiri. Al-Ghazali menjadi
seorang filosof terlebih dahulu dengan cara menguasai keseluruhan mulai dari
hal-hal pokok hingga cabang-cabang kefilsafatan secara mendalam, bahkan sampai
pada level yang tak dapat dijangkau atau tak terpikirkan sebelumnya oleh para
filosof lain. Dan terbukti kemudian cara ini lebih berhasil secara elegan
dimata kawan maupun lawan. Tahafut Al-Falasifah juga terbukti menaikkan pamor
Al-Ghazali sebagai seorang filosof paling brillian saat itu. Kedua, hasil
ijtihad Al-Ghazali bahwa belajar ilmu logika adalah fardhu kifayah merupakan
bukti paling akurat penerimaannya pada filsafat. Jadi tidak benar pendapat
sebagian kalangan yang seringkali menyebut Al-Ghazali sebagai seorang ulama
yang anti filsafat.
Yang paling penting dicatat disini Al-Ghazali memang mengalami
fase skeptik sama seperti yang dialami Descartes berabad-abad kemudian. Namun,
seperti dikatakan Juhaya S. Praja (2008) jika pemikiran Rene Descartes diawali dengan
keragu-raguan dan berujung pada kelahiran rasionalisme yang cenderung
mengabaikan Tuhan dan agama, maka perjalanan pemikiran filsafati al-Ghazali
justru mengantarkannya pada keyakinan yang kuat akan Tuhan melalui jalan
tasawwuf yang berpuncak pada ma’rifat. Jadi jelas kiranya perbedaan antara
tradisi filsafat Islam dengan tradisi filsafat barat. Filsafat barat mengabdi
pada akal dan pada saat yang sama juga menuhankannya. Semakin mengabaikan Tuhan
dan agama (Derrida mengistilahkannya dengan logosentrisme), seorang filsuf
dalam tradisi barat akan semakin dipuja dan didewakan, dan barangkali menjadi
ukuran keberhasilan seseorang dalam berfilsafat. Sedang filsafat Islam menolak
tradisi filsafat semacam itu.
No comments:
Post a Comment