Blog is Power

Sunday, March 24, 2013

Kontroversi Al-Ghazali



Sesungguhnya orang yang tidak memiliki pengetahuan dalam ilmu logika, tidak dapat dipercaya ilmunya (Al-Ghazali)


Menurut pengakuan Al-Ghazali dalam kitabnya Al-Munqidz min Al-Dhalal seperti dikutip Saeful Anwar (2007), ia yang genius dan kritis sejak kecil menghadapi banyak masalah agama, aliran yang kontroversial dalam Islam seperti mutakallimin, filosof, Ta’limiyah dan kaum sufi yang masing-masing mengklaim alirannyalah yang benar, padahal Al-Ghazali mendengar hadits bahwa yang selamat hanya satu dan bahwa manusia dilahirkam diatas fitrah yang kemudian menjadi Yahudi, Nasrani atau Majuzi karena didikan (taklid) orang tuanya. Inilah yang menimbulkan skeptik dalam dirinya tentang mana kebenaran yang tunggal dan apa kriterianya, serta dorongan yang kuat untuk mencari dan menemukan ilmu yaqini sebagai kebenaran tunggal yang pasti dan universal berdasarkan standar ilmiah yang pasti dan universal pula. Dari sini ia terjun menyelami semua aliran sampai jantungnya yang paling dalam.

Saeful Anwar (2007) menulis bahwa dengan latar belakang tersebut membuat Al-Ghazali muncul sebagai seorang sufi filosof yang mutakallim dan faqih besar yang oleh al-Maraghi disebut sebagai “ensiklopedi” semua cabang ilmu pengetahuan dimasanya. Tokoh intelektual yang komprehensif seperti ini sangat dimungkinkan muncul sebagai filosof yang mendekati segala sesuatu secara holistik-integral dan radikal-esensial, sekaligus sebagai tokoh konvergensi berbagai aliran. Ternyata Al-Ghazali telah mampu mengintegrasikan teologi, fiqh, dan tasawwuf, bahkan antara agama dan filsafat serta nilai dan sains. 

Kesalahpahaman orang terhadap pribadi Al-Ghazali memang banyak terjadi. Selama ini banyak orang mengira Al-Ghazali adalah seorang ulama sebagaimana ulama lain yang meletakkan ilmu tafsir, hadits, ushul fiqh, dan tasawwuf sebagai standar keilmuan.  Padahal Al-Ghazali adalah seorang filosof sejati. Logikanya sederhana saja: kalau Al-Ghazali bukan seorang filosof, bagaimana mungkin ia sanggup menulis Tahafut Al-Falasifah –sebuah kitab filsafat yang bertaburan dengan paparan logika kelas tinggi dan begitu mumpuni?  Memang sejak saat itu filsafat seperti mati kutu alias tak berkutik akibat terbitnya Tahafut Al-Falasifah yang diakui  banyak kalangan karena kejernihan dan kelincahannya dalam menyingkap tabir kerancuan pemikiran para filosof. Nasr Hamid Abu Zaid sebagaimana dikutip Aksin Wijaya (2009) adalah salah satu contoh orang yang menyatakan bahwa sejak terbitnya Tahafut Al-Falasifah, filsafat tersingkir dari kancah disiplin keilmuan Islam. 

Anggapan yang prinsipnya hanya didasarkan pada prasangka dan sentimen aliran tersebut sangat tidak beralasan. Hal ini didasarkan pada: Pertama, Al-Ghazali sangat menghargai kedudukan akal dan menempatkannya dalam posisi yang terhormat sebagai bagian dari epistemologi filsafat ilmunya. Kita tahu, filsafat bekerja dalam wilayah akal rasional. Berfilsafat tidak sama dengan menghayal atau mengigau. Oleh karenanya Al-Ghazali menyatakan: “Barangsiapa mendustakan akal, nyata-nyata telah mendustakan syara’, sebab dengan akallah diketahui kebenaran syara’. Sekiranya tidak ada kebenaran dalil akal, kita tidak akan mengetahui perbedaan antara nabi dengan yang mengaku “nabi”, dan antara yang benar dengan yang dusta. Bagaimana mungkin, akal didustakan oleh syara’, padahal syara’ tidak ditetapkan (kebenaran dan kesahannya) kecuali dengan akal”. Kedua, dalam kitab al-Mustafa seperti dikutip Saeful Anwar (2007) Al-Ghazali adalah ulama yang pertama kali memasukkan logika kedalam kultur keilmuan Islam dan bukan saja memandang sebagai mukaddimah ilmu-ilmu seluruhnya, tapi juga sebagai salah satu syarat mujtahid yang hukum mempelajarinya adalah fardu kifayah bagi umat Islam.  

Jika kita sepakat bahwa ilmu logika termasuk bagian atau salah satu cabang dari filsafat, seperti juga dinyatakan Khalimi (2011) maka ini pun menjadi faktor yang akan menampik tudingan sebagian orang terhadap Al-Ghazali sebagai ulama yang anti filsafat. Tidak mungkin Al-Ghazali menghukumi mempelajari ilmu logika sebagai fardhu kifayah jika pada kenyataannya ia menolak filsafat. Tentu tidak masuk akal sesuatu yang diharamkan hukumnya namun diadopsi menjadi bagian dari syarat mujtahid. Saya kira Al-Ghazali tidak akan main-main dalam menentukan hukum syara’, sebab seperti kita ketahui Al-Ghazali juga seorang ahli ushul fiqh yang pasti memahami bagaimana melakukan ijtihad atau istimbath dengan benar.

Memang ada kecenderungan dari orang-orang yang tidak begitu senang terhadap Al-Ghazali dengan cara menimpakan seluruh kondisi kemunduran umat Islam kepadanya. Tetapi saya kira hal itu terlalu tendensius dan sangat berlebihan. Ibn Khaldun seperti dikutip Saeful Anwar (2007) menyatakan bahwa Al-Ghazali lahir pada saat kondisi sosial politik dan keilmuan Islam sedang mengalami krisis, baik karena motivasi ideologis, etnis, dan ambisi duniawi. Ulama pada umumnya -termasuk Al-Ghazali sampai usia tertentu- serius mencari dan mengembangkan ilmu untuk mencapai kedudukan tinggi dimata ummat dan penguasa. Sebaliknya, penguasa pun mendekati ulama untuk memperkuat posisinya dimata ummat. Disisi lain kolaborasi ulama sunni dan umara’ sunni (dinasti saljuk) ini merupakan sesuatu yang logis sebab mereka menghadapi musuh yang sama, yaitu kaum filosof, Mu’tazilah, dan Syi’ah terutama Isma’iliyah/Batiniyah dibawah kendali dinasti Fatimiyah di Mesir, negara Bani Sulaihi di Yaman, Qaramithah di Bahrain dan Benteng Alamaut di utara Abbasiyah. Sementara itu, kekuatan Kristen Eropa merupakan ancaman serius sampai meletusnya perang salib babak pertama abad pertengahan di masa hidup Al-Ghazali (490 H/1096 M).      

Hasil pengamatan Ibnu Khaldun diatas nampaknya bersesuaian dengan sebuah adagium populer dari Al-Ghazali sendiri bahwa agama adalah pondasi dan sultan penjaganya. Adagium ini sulit dibantah, baik secara historis maupun teoritis. Sejak runtuhnya kekuasaan Bani Abbasiyah di Baghdad akibat serangan brutal Hulagu dari Mongol, maka bukan saja kekuasaan politik Islam yang luluh lantak namun perkembangan ilmunya juga padam. Kemunduran Islam menjadi-jadi dan umat Islam saat itu menemukan diri sedang terjangkiti sejenis penyakit akut yang dalam istilah Rasulullah saw disebut hubb al-dunya. Melihat keadaan tersebut Al-Ghazali tentu tak berdiam diri. Saat perang salib berkecamuk dan umat Islam kalah, Al-Ghazali tidak menyerukan jihad fisik (qital), Al-Ghazali justru lebih intens perhatiannya pada perbaikan mental dan watak umat Islam yang sudah terdegradasi begitu parah. Logika Al-Ghazali jelas benar, kondisi jiwa umat Islam yang centang perenang saat itu tidak mungkin lagi dipertaruhkan untuk melawan pasukan Salib. Maka jalan satu-satunya untuk mengembalikan jati diri umat Islam adalah mengembalikan mereka pada manhaj yang sesungguhnya dengan menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama. Keluarlah karya spektakuler Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin. Jihad an-Nafs menjadi populer saat itu. Penyakit cinta dunia mulai terkikis secara perlahan berkat usaha keras Al-Ghazali. Maka buahnya segera terlihat kemudian melalui kemenangan gemilang Shalahuddin Al-Ayyubi mengangkangi pasukan Salib dan menyingkirkan mereka dari bumi Palestina. 

Dari kisah Al-Ghazali ini setidaknya kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran yang layak dan patut dipegang dijaman sekarang. Pertama, kritiklah filsafat dengan filsafat. Kita tidak perlu melawan filsafat dengan pedang, karena sudah bukan jamannya lagi. Al-Ghazali dulu merontokkan para filosof dengan meminjam senjata para filosofnya sendiri. Al-Ghazali menjadi seorang filosof terlebih dahulu dengan cara menguasai keseluruhan mulai dari hal-hal pokok hingga cabang-cabang kefilsafatan secara mendalam, bahkan sampai pada level yang tak dapat dijangkau atau tak terpikirkan sebelumnya oleh para filosof lain. Dan terbukti kemudian cara ini lebih berhasil secara elegan dimata kawan maupun lawan. Tahafut Al-Falasifah juga terbukti menaikkan pamor Al-Ghazali sebagai seorang filosof paling brillian saat itu. Kedua, hasil ijtihad Al-Ghazali bahwa belajar ilmu logika adalah fardhu kifayah merupakan bukti paling akurat penerimaannya pada filsafat. Jadi tidak benar pendapat sebagian kalangan yang seringkali menyebut Al-Ghazali sebagai seorang ulama yang anti filsafat.

Yang paling penting dicatat disini Al-Ghazali memang mengalami fase skeptik sama seperti yang dialami Descartes berabad-abad kemudian. Namun, seperti dikatakan Juhaya S. Praja (2008)  jika pemikiran Rene Descartes diawali dengan keragu-raguan dan berujung pada kelahiran rasionalisme yang cenderung mengabaikan Tuhan dan agama, maka perjalanan pemikiran filsafati al-Ghazali justru mengantarkannya pada keyakinan yang kuat akan Tuhan melalui jalan tasawwuf yang berpuncak pada ma’rifat. Jadi jelas kiranya perbedaan antara tradisi filsafat Islam dengan tradisi filsafat barat. Filsafat barat mengabdi pada akal dan pada saat yang sama juga menuhankannya. Semakin mengabaikan Tuhan dan agama (Derrida mengistilahkannya dengan logosentrisme), seorang filsuf dalam tradisi barat akan semakin dipuja dan didewakan, dan barangkali menjadi ukuran keberhasilan seseorang dalam berfilsafat. Sedang filsafat Islam menolak tradisi filsafat semacam itu.

No comments: