Blog is Power

Thursday, March 21, 2013

Mengenal Sastra



Ketika Teeuw (2003) mengartikan sastra secara harafiah sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku instruksi atau pun pengajaran, maka kemisteriusan makhluk bernama sastra perlahan mulai terkuak dalam benak saya. Tetapi  karena jaman sekarang orang-orang kerap mencela pembacaan teks yang dilakukan secara harafiah maka saya berfikir pengertian sastra dapat kita pahami sebagaimana masyarakat pecinta sastra atau komunitas-komunitas sastra memahaminya. 

Dwi Susanto (2012) misalnya menyebut dalam tradisi masyarakat Cina atau Tionghoa -khususnya merujuk pada tradisi konfusianisme- sastra diposisikan sebagai suatu alat atau cara untuk memahami realitas atau jalan hidup di dunia yang disebut Dao. Sastra dalam tradisi Cina dengan begitu menduduki tempat mulia dan bergengsi. Bahkan bisa jadi setara dengan kedudukan kitab suci. Jika anda memahami bagaimana kedudukan kitab suci dalam pemikiran masing-masing penganutnya maka demikian juga kedudukan sastra dalam pemikiran masyarakat Cina.  Sastra identik dengan jalan hidup. Sastra menjadi kerangka berfikir (framework) dan pandangan hidup (worldview). Sastra menjadi puncak pengalaman multidimensi seorang sastrawan Tionghoa dalam memahami Dao. 

Berbeda dengan Plato yang menganggap sastra sebagai karya tak berguna bagi negara. Baginya sastra tak lebih sebagai tiruan –memesis, fotokopi- dari alam semesta. Tetapi anggapan Plato ini ditentang habis-habisan oleh muridnya sendiri: Aristoteles. Karya sastra bukan sekedar dan tidak bisa dikatakan tak berguna, bahkan Aristoteles menyebutkan bahwa dalam setiap karya sastra mencerminkan sebuah usaha kreatif seorang pengarang dalam mencipta dengan segenap unsur estetik yang dimiliki. 

Apa yang ditangkap Plato tentang sastra barangkali ada benarnya. Kalau kita cermati setiap karya sastra seperti puisi, novel, cerpen, roman, dan lain sebagainya memang mendekati derajat imitasi dari realitas yang ditangkap oleh indera, rasio, dan khayal manusia. Mustahil sebuah karya sastra akan mewakili kehampaan. Setiap karya sastra pasti menggambarkan patahan-patahan peristiwa yang meruang dan mewaktu yang melingkupi kehidupan sang pengarang. Pengarang sekedar mentransmisikan apa yang ditangkap dari berbagai fenomena melalui sebuah karya. Plato dalam hemat saya nampaknya berusaha realistis dalam mengemukakan pandangannya.

Penentangan Aristoteles terhadap gurunya bisa dipahami sebagai usaha untuk melihat kedudukan karya sastra dari perspektif yang berbeda walaupun sifatnya tetap subjektif. Hal yang patut dicermati disini adanya sebuah kenyataan bahwa acapkali karya sastra lebih berhasil menjelaskan atau mewakili sebuah fenomena yang sebelumnya tidak dipahami masyarakat pembaca atau penikmat sastra. Sastra dalam pandangan filsuf dengan julukan guru pertama ini diyakini dapat menawarkan spektrum dan nuansa berbeda dari pemahaman mainstream masyarakat manusia umumnya atas beragam persoalan dan gejala alam semesta. Kreativitas seorang sastrawan menjadikan sastra sebagai wadah yang memberikan ruang interpretasi atas fenomena alam secara leluasa dan memantik terciptanya suasana jiwa masyarakat yang lebih hidup dan dinamis. 

Dalam tradisi Islam, sastra sepertinya juga menempati posisi terhormat. Sayyed Hosen Nasr (1993) misalnya menyebutkan sastra menjadi kajian penting untuk memahami hubungan antara seni dan spiritualitas. Al-Qanuji dalam Abjad Al-Ulum, seperti dikutip Raghib As-Sirjani (2009) mendefinisikan ilmu sastra sebagai pengetahuan untuk memelihara berbagai macam kesalahan dalam kalam Arab, baik secara lafadz maupun tulisan. Tujuan ilmu ini untuk memperbaharui kaidah dan menambah kehalusan akal dan penyucian estetika. Ibnu Khaldun menyatakan hal yang nyaris senada bahwa yang dimaksud ahli lisan yaitu memperbaharui kaidah prosa tentang tatacara bahasa Arab dan ruang lingkupnya. 

Pengenalan awal terhadap sastra Arab yang belakangan sering disebut-sebut sebagai cikal bakal sastra Islam teramat penting. Sebab, sedikit dijumpai tulisan-tulisan yang mengungkap sastra Islam khususnya di tataran lokal. Bahkan nyaris tak terdengar sama sekali. Jarang kita jumpai penulis-penulis lokal yang sudi meneliti perkembangan sastra arab terkecuali pada kalangan komunitas terbatas. Sementara dinamika sastra di tanah air sendiri lebih banyak dipengaruhi sastra Eropa dan Amerika. Hal ini bisa dipahami sebagai bagian dari penetrasi budaya yang sangat masif terutama sejak masa sastra romantik pada 1930-an. 

Wildana Wargadinata (1998) menyebut dalam bahasa Arab, tidak ada sebuah kata yang artinya bertepatan dengan sastra; kata yang paling dekat barangkali “adab”.  Adab merupakan kata yang berarti berkembang sejalan dengan kehidupan bangsa Arab dari fase badui menuju fase yang bertamaddun dan berperadaban. Pada masa jahiliyah orang arab menggunakan kata adab yang berarti undangan untuk menyantap makanan. Tradisi semacam ini dipandang sebagai perbuatan yang terpuji untuk menghormati tamu dan kemudian menghidangkan makanan kepadanya. 

Pada masa Islam kata adab dipakai sebagai kata yang mencakup pendidikan baik lisan maupun budi pekerti (akhlak). Sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Addabani rabbi fa-ahsana ta’dibi” -Tuhanku telah mendidikku, kemudian menyempurnakan pendidikanku. Pada masa Bani Umayyah kata adab berarti pengajaran, maka kata pengajar (mu’allim) sama artinya dengan mu’addib. Merekalah yang mengajar anak-anak khalifah untuk mengetahui wacana kebudayaan Arab, sya’ir, pidato, berita orang-orang Arab, keturunannya, hari-hari peperangan pada masa jahiliyah dan Islam. Pemakaian kata ini juga dipakai dalam pengajaran tentang syari’ah Islam yang mencakup fiqih, hadist dan tafsir.

Dalam buku Mu’jaz fi Al-Adab al-Araby wa Tarikhuhu disebutkan bahwa kata adab didefinisikan sebagai segala hal yang menghiasai seseorang baik itu sifat dan budi pekerti, sehingga dengannya orang dihormati dan dimuliakan. Setiap orang alim dapat disebut beradab, selanjutnya pengertian adab diringkas menjadi tulisan yang indah dan mempunyai makna puisi atau syair.  

Hanya saja dari sisi sejarah seperti dikatakan Ismail Raji Al-Faruqi (1999) umat Islam belum pernah memiliki lembaga yang secara formal melakukan kajian seni dan sastra secara utuh. Oleh karena itu hingga kini kita belum memiliki konsep yang mapan dalam bidang seni dan sastra baik secara filosofis (filsafat seni Islam) yang merumuskan batasan nilai berdasar ajaran Islam; secara teoritis seperti sejarah, struktur, dan klasifikasi: apakah ada seni dan sastra Islam ataukah hanya seni dan sastra muslim? secara praktis menyangkut kajian tentang tehnik-tehnik perbidang, maupun secara apresiatif yang berhubungan dengan kritik seni yang mengkaji perkembangan seni dan sastra Islam dalam hubungannya dengan masyarakat Muslim. Akibat kondisi demikian sastra Islam sangat mengenaskan karena terkucil dari perkembangan masyarakatnya sendiri.    
 
Jika selama ini kita tidak mendapatkan satu definisi tunggal mengenai sastra dalam berbagai tradisi literasi baik di Cina, Barat, dan Eropa maka keadaan demikian rupanya juga terjadi dalam tradisi sastra Islam. Banyak sekali faktor-faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satu yang menonjol seperti disebutkan Tohari sebagaimana dikutip Wildana Wargadinata (1998) adanya beberapa ayat atau hadis Nabi yang ditafsirkan oleh sebagian besar ulama sebagai bukti secara tekstual kekurangsimpatikan Islam terhadap sastra. Pendapat semacam itu menurut Bintu Syati’ sebetulnya merupakan warisan dari kritikus sastra abad 2 dan abad 3 H pada saat sastra menjadi lemah dan tidak berfungsi sejak kedatangan Islam. Hal ini menurut mereka dibuktikan dengan turunnya QS. Asy-Syu’ara : 224-227.

Sementara dalam tradisi barat seperti dijelaskan Al-Faruqi, post art yang baru tumbuh pada dekade 60-an sudah dapat berkembang dengan estetika, maupun teori yang sistematis bahkan telah melahirkan diversifikasi semacam feminist art tahun 70-an yang mencoba mengembangkan wacana seni perempuan dan memasuki era 80-an berkembang multiculturalist art yang memperjuangkan seni kelompok pinggiran dan masyarakat tertindas.

Untuk memahami apa sebenarnya sastra dalam tradisi Islam maka pendapat Sayyed Hosen Nasr sepertinya lebih tepat dipakai sebagai rujukan untuk kita saat ini. Dalam Warisan Sufi sebagaimana dikutip Wildana Wargadinata (1998), Nasr menyebutkan bahwa secara bertahap -meskipun agak terlambat- dunia Barat mulai menyadari bahwa seni Islam bukanlah sebuah koleksi aneh object de art atau relik-relik pelik yang diciptakan oleh sebagian orang yang menyebut diri mereka sebagai muslim, melainkan ia pada dasarnya adalah buah spiritual dari pewahyuan Islam.  

Beberapa pemahaman tentang konsep sastra dari berbagai tradisi tersebut diatas, barangkali hanya menjadi pintu pertama untuk memasuki jagad sastra sebagaimana telah dan sedang dalam proses menjadinya hingga saat ini, khususnya dalam khazanah kesusasteraan lokal. Hal semacam itu dapat digunakan sebagai framework pada saat kita memutuskan untuk menceburkan diri lebih jauh dalam proses kreatif kesusasteraannya sendiri.






Mohammad Faysal Hasan
Peminat dan penikmat sastra dan saat ini sedang bermukim di mohammadfasyalhasan@gmail.com    

No comments: