Ketika Teeuw (2003)
mengartikan sastra secara harafiah sebagai alat untuk mengajar, buku petunjuk,
buku instruksi atau pun pengajaran, maka kemisteriusan makhluk bernama sastra
perlahan mulai terkuak dalam benak saya. Tetapi
karena jaman sekarang orang-orang kerap mencela pembacaan teks yang
dilakukan secara harafiah maka saya berfikir pengertian sastra dapat kita
pahami sebagaimana masyarakat pecinta sastra atau komunitas-komunitas sastra
memahaminya.
Dwi Susanto (2012) misalnya
menyebut dalam tradisi masyarakat Cina atau Tionghoa -khususnya merujuk pada
tradisi konfusianisme- sastra diposisikan sebagai suatu alat atau cara untuk
memahami realitas atau jalan hidup di dunia yang disebut Dao. Sastra dalam
tradisi Cina dengan begitu menduduki tempat mulia dan bergengsi. Bahkan bisa
jadi setara dengan kedudukan kitab suci. Jika anda memahami bagaimana kedudukan
kitab suci dalam pemikiran masing-masing penganutnya maka demikian juga kedudukan
sastra dalam pemikiran masyarakat Cina. Sastra
identik dengan jalan hidup. Sastra menjadi kerangka berfikir (framework) dan
pandangan hidup (worldview). Sastra menjadi puncak pengalaman multidimensi
seorang sastrawan Tionghoa dalam memahami Dao.
Berbeda dengan Plato yang
menganggap sastra sebagai karya tak berguna bagi negara. Baginya sastra tak
lebih sebagai tiruan –memesis, fotokopi- dari alam semesta. Tetapi anggapan
Plato ini ditentang habis-habisan oleh muridnya sendiri: Aristoteles. Karya
sastra bukan sekedar dan tidak bisa dikatakan tak berguna, bahkan Aristoteles
menyebutkan bahwa dalam setiap karya sastra mencerminkan sebuah usaha kreatif
seorang pengarang dalam mencipta dengan segenap unsur estetik yang dimiliki.
Apa yang ditangkap Plato
tentang sastra barangkali ada benarnya. Kalau kita cermati setiap karya sastra
seperti puisi, novel, cerpen, roman, dan lain sebagainya memang mendekati
derajat imitasi dari realitas yang ditangkap oleh indera, rasio, dan khayal
manusia. Mustahil sebuah karya sastra akan mewakili kehampaan. Setiap karya
sastra pasti menggambarkan patahan-patahan peristiwa yang meruang dan mewaktu yang
melingkupi kehidupan sang pengarang. Pengarang sekedar mentransmisikan apa yang
ditangkap dari berbagai fenomena melalui sebuah karya. Plato dalam hemat saya
nampaknya berusaha realistis dalam mengemukakan pandangannya.
Penentangan Aristoteles
terhadap gurunya bisa dipahami sebagai usaha untuk melihat kedudukan karya
sastra dari perspektif yang berbeda walaupun sifatnya tetap subjektif. Hal yang
patut dicermati disini adanya sebuah kenyataan bahwa acapkali karya sastra lebih
berhasil menjelaskan atau mewakili sebuah fenomena yang sebelumnya tidak
dipahami masyarakat pembaca atau penikmat sastra. Sastra dalam pandangan filsuf
dengan julukan guru pertama ini diyakini dapat menawarkan spektrum dan nuansa
berbeda dari pemahaman mainstream masyarakat manusia umumnya atas beragam
persoalan dan gejala alam semesta. Kreativitas seorang sastrawan menjadikan sastra
sebagai wadah yang memberikan ruang interpretasi atas fenomena alam secara leluasa
dan memantik terciptanya suasana jiwa masyarakat yang lebih hidup dan dinamis.
Dalam tradisi Islam, sastra
sepertinya juga menempati posisi terhormat. Sayyed Hosen Nasr (1993) misalnya
menyebutkan sastra menjadi kajian penting untuk memahami hubungan antara seni
dan spiritualitas. Al-Qanuji dalam Abjad Al-Ulum, seperti dikutip Raghib
As-Sirjani (2009) mendefinisikan ilmu sastra sebagai pengetahuan untuk
memelihara berbagai macam kesalahan dalam kalam Arab, baik secara lafadz maupun
tulisan. Tujuan ilmu ini untuk memperbaharui kaidah dan menambah kehalusan akal
dan penyucian estetika. Ibnu Khaldun menyatakan hal yang nyaris senada bahwa yang
dimaksud ahli lisan yaitu memperbaharui kaidah prosa tentang tatacara
bahasa Arab dan ruang lingkupnya.
Pengenalan awal terhadap sastra
Arab yang belakangan sering disebut-sebut sebagai cikal bakal sastra Islam
teramat penting. Sebab, sedikit dijumpai tulisan-tulisan yang mengungkap sastra
Islam khususnya di tataran lokal. Bahkan nyaris tak terdengar sama sekali.
Jarang kita jumpai penulis-penulis lokal yang sudi meneliti perkembangan sastra
arab terkecuali pada kalangan komunitas terbatas. Sementara dinamika sastra di tanah
air sendiri lebih banyak dipengaruhi sastra Eropa dan Amerika. Hal ini bisa
dipahami sebagai bagian dari penetrasi budaya yang sangat masif terutama sejak
masa sastra romantik pada 1930-an.
Wildana Wargadinata (1998) menyebut
dalam bahasa Arab, tidak ada sebuah kata yang artinya bertepatan dengan sastra;
kata yang paling dekat barangkali “adab”. Adab merupakan kata yang berarti berkembang sejalan dengan kehidupan bangsa
Arab dari fase badui menuju fase yang bertamaddun dan berperadaban. Pada masa jahiliyah
orang arab menggunakan kata adab yang berarti undangan untuk menyantap makanan.
Tradisi semacam ini dipandang sebagai perbuatan yang terpuji untuk menghormati
tamu dan kemudian menghidangkan makanan kepadanya.
Pada masa Islam kata adab
dipakai sebagai kata yang mencakup pendidikan baik lisan maupun budi pekerti
(akhlak). Sebagaimana sabda Rasulullah saw : “Addabani rabbi fa-ahsana ta’dibi” -Tuhanku telah mendidikku,
kemudian menyempurnakan pendidikanku. Pada masa Bani Umayyah kata adab berarti
pengajaran, maka kata pengajar (mu’allim) sama artinya dengan mu’addib. Merekalah
yang mengajar anak-anak khalifah untuk mengetahui wacana kebudayaan Arab, sya’ir,
pidato, berita orang-orang Arab, keturunannya, hari-hari peperangan pada masa jahiliyah
dan Islam. Pemakaian kata ini juga dipakai dalam pengajaran tentang syari’ah
Islam yang mencakup fiqih, hadist dan tafsir.
Dalam buku Mu’jaz fi Al-Adab
al-Araby wa Tarikhuhu disebutkan bahwa kata adab didefinisikan sebagai segala
hal yang menghiasai seseorang baik itu sifat dan budi pekerti, sehingga
dengannya orang dihormati dan dimuliakan. Setiap orang alim dapat disebut
beradab, selanjutnya pengertian adab diringkas menjadi tulisan yang indah dan
mempunyai makna puisi atau syair.
Hanya saja dari sisi sejarah
seperti dikatakan Ismail Raji Al-Faruqi (1999) umat Islam belum pernah memiliki
lembaga yang secara formal melakukan kajian seni dan sastra secara utuh. Oleh
karena itu hingga kini kita belum memiliki konsep yang mapan dalam bidang seni
dan sastra baik secara filosofis (filsafat seni Islam) yang merumuskan batasan
nilai berdasar ajaran Islam; secara teoritis seperti sejarah, struktur, dan
klasifikasi: apakah ada seni dan sastra Islam ataukah hanya seni dan sastra muslim?
secara praktis menyangkut kajian tentang tehnik-tehnik perbidang, maupun secara
apresiatif yang berhubungan dengan kritik seni yang mengkaji perkembangan seni dan
sastra Islam dalam hubungannya dengan masyarakat Muslim. Akibat kondisi
demikian sastra Islam sangat mengenaskan karena terkucil dari perkembangan
masyarakatnya sendiri.
Jika selama ini kita tidak
mendapatkan satu definisi tunggal mengenai sastra dalam berbagai tradisi literasi
baik di Cina, Barat, dan Eropa maka keadaan demikian rupanya juga terjadi dalam
tradisi sastra Islam. Banyak sekali faktor-faktor yang menjadi penyebabnya.
Salah satu yang menonjol seperti disebutkan Tohari sebagaimana dikutip Wildana Wargadinata
(1998) adanya beberapa ayat atau hadis Nabi yang ditafsirkan oleh sebagian
besar ulama sebagai bukti secara tekstual kekurangsimpatikan Islam terhadap
sastra. Pendapat semacam itu menurut Bintu Syati’ sebetulnya merupakan warisan
dari kritikus sastra abad 2 dan abad 3 H pada saat sastra menjadi lemah dan
tidak berfungsi sejak kedatangan Islam. Hal ini menurut mereka dibuktikan
dengan turunnya QS. Asy-Syu’ara : 224-227.
Sementara dalam tradisi
barat seperti dijelaskan Al-Faruqi, post art yang baru tumbuh pada dekade 60-an
sudah dapat berkembang dengan estetika, maupun teori yang sistematis bahkan
telah melahirkan diversifikasi semacam feminist art tahun 70-an yang mencoba
mengembangkan wacana seni perempuan dan memasuki era 80-an berkembang multiculturalist
art yang memperjuangkan seni kelompok pinggiran dan masyarakat tertindas.
Untuk memahami apa
sebenarnya sastra dalam tradisi Islam maka pendapat Sayyed Hosen Nasr
sepertinya lebih tepat dipakai sebagai rujukan untuk kita saat ini. Dalam
Warisan Sufi sebagaimana dikutip Wildana Wargadinata (1998), Nasr menyebutkan bahwa
secara bertahap -meskipun agak terlambat- dunia Barat mulai menyadari bahwa
seni Islam bukanlah sebuah koleksi aneh object de art atau relik-relik pelik
yang diciptakan oleh sebagian orang yang menyebut diri mereka sebagai muslim,
melainkan ia pada dasarnya adalah buah spiritual dari pewahyuan Islam.
Beberapa pemahaman tentang konsep
sastra dari berbagai tradisi tersebut diatas, barangkali hanya menjadi pintu
pertama untuk memasuki jagad sastra sebagaimana telah dan sedang dalam proses menjadinya
hingga saat ini, khususnya dalam khazanah kesusasteraan lokal. Hal semacam itu
dapat digunakan sebagai framework pada saat kita memutuskan untuk menceburkan
diri lebih jauh dalam proses kreatif kesusasteraannya sendiri.
Mohammad Faysal Hasan
Peminat dan penikmat sastra
dan saat ini sedang bermukim di mohammadfasyalhasan@gmail.com
No comments:
Post a Comment