Belum lama kita mendengar iklan gerakan perubahan begitu gencar
ditayangkan di media massa. Tapi yang menarik bagi saya justru bukan isi dari
iklan yang ditayangkan tetapi sebuah kabar bahwa politikus itu juga merangkap
sebagai owner media yang bersangkutan. Saya jadi berfikir saat itu betapa
enaknya menjadi politikus yang juga memiliki media massa. Bisa tampil menyampaikan
pesan dalam beragam kemasan dan dalam bermacam sosok yang diinginkan. Bisa
dalam sosok seorang pengusaha sukses. Bisa dalam sosok politikus handal. Bisa
dalam sosok tokoh kemanusiaan yang berhati malaikat. Pokoknya bisa tampil
meyakinkan dihadapan publik dan dapat mengendalikan persepsi publik. Suatu
pencapaian langka untuk ukuran manusia Indonesia.
Tetapi pencapaian politikus tersebut dari sudut pandang lain bisa menjadi sebuah ironi. Bagaimana tidak, tampilan sosok politikus itu bisa dikatakan lebih mirip dengan selebritis. Anda tahu selebritis identik dengan dunia media dan pemberitaan. Alam selebritis tak jauh dari dunia gosip. Sehingga bisa disebut selebritis pada hakikatnya lahir dan tumbuh besar dari dunia gosip. Ini bukan simplifikasi tapi sebuah kenyataan bahwa media berperan besar melahirkan sesosok selebritis. Tanpa media mustahil akan ada selebritis. Tanpa gosip kita tak akan mengenal artis. Sekarang anda pasti juga berfikir bahwa politisi yang dibesarkan oleh media tak akan beda jauh dengan tipikal kepribadian seorang selebritis. Muncul secara tiba-tiba di media bersama dengan desas-desus atau gembar-gembor politik. Gejala seperti ini makin sering kita jumpai akhir-akhir ini.
Maka, tidak berlebihan kiranya bila tipikal politisi yang
dibesarkan media itu bisa jadi hanya memikirkan urusan kulit atau tampilan luar
saja. Kenapa saya katakan demikian? Mari kita bayangkan, bagaimana ketika
seorang selebritis tampil di media. Tentu mereka tak akan setor muka dengan style
ala kadarnya. Poles-memoles tampilan luar menjadi sebuah keniscayaan. Orang
bilang, itu sudah tuntutan skenario yang tak bisa ditolak dan dihindarkan. Penampilan
diatur sedemikian rupa agar terlihat menarik dan meyakinkan. Bagaimana cara
agar politikus besutan media ini tak
kalah bersaing dengan tokoh-tokoh politik yang kenyang pengalaman karena besar
dilapangan sebagai politikus murni bukan karbitan.
Media mempunyai kekuatan dahsyat dalam mengendalikan persepsi
publik. Kondisi ini sudah tentu disadari sebagai sarana yang bisa dan harus dimanfaatkan
sedemikian rupa untuk kepentingan dan keuntungan pribadi. Jadi tak heran hampir
tiap saat iklan gerakan perubahan itu ditayangkan. Kalau dihitung dalam satu
hari saja bisa puluhan kali penayangan. Masyarakat lambat laun pasti akan terpikat
dan terpesona. Saya sendiri saat itu sempat berfikir bahwa politikus yang
sering tampil di media itu sepertinya memang benar-benar serius ingin memelopori
perubahan sesuai konten iklan yang ditayangkan media.
Tapi sayang setelah terjadi kisruh ditubuh partai yang diusung
sang politikus dan kemudian tersiar kabar pengunduran dirinya dari jajaran kepengurusan
partai mendadak iklan itu tak pernah ditayangkan kembali. Entah karena dihentikan
atau bagaimana, yang jelas setelah itu iklan perubahan tersebut raib tanpa meninggalkan
bekas apapun, terkecuali satu pertanyaan: bagaimanakah selanjutnya nasib
gerakan perubahan yang sudah terlanjur digembar-gemborkan itu?
Terus terang saja akibat rentetan peristiwa itu saya akhirnya
menduga jangan-jangan iklan gerakan perubahan itu hanya main-main, sebatas
melayani kepentingan pribadi dan kelompok. Selama kepentingan pribadi bisa
terakomodasi maka selama itu pula saya ada untuk “perubahan”. Sebaliknya kalau
tidak terakomodasi maka tidak ada saya dan tidak ada “perubahan”. Prasangka saya
berlanjut: kalau demikian apa beda iklan gerakan perubahan itu dengan iklan sabun
colek? Jadi, perubahan yang dimaksudkan sejatinya hanya untuk mempromosikan kepentingan
pribadi dan kelompok. Bukan untuk memelopori perubahan dalam arti yang
sesungguhnya yaitu perubahan yang menyentuh problem ideologis dan problem sosial
kemasyarakatan lainnya.
Dengan kata lain, iklan gerakan perubahan itu dimaksudkan
untuk mendongkrak popularitas dan nama besar. Namanya iklan dimana-mana pasti
ditujukan untuk penglaris dagangan. Memang kemudian jargon gerakan perubahan itu
begitu familiar dan menjadi ungkapan yang populer. Bisa dikatakan jargon gerakan
perubahan itu menjadi primadona menggantikan jargon-jargon lain yang mendahului.
Seperti gerakan reformasi dan lainnya. Namun yang memperihatinkan gema gerakan
perubahan itu berakhir dengan tragis. Ketika yang besangkutan tak lagi menjadi
pengurus partai maka berakhir pula kampanye perubahannya. Secara implisit kita
bisa menangkap bahwa iklan gerakan perubahan itu sarat dengan kepentingan
politik pragmatis dan bukan untuk gerakan
perubahan sebagaimana mestinya.
Pengalaman telah mengajarkan bahwa gerakan perubahan sampai
saat ini tetap menjadi simbol pergantian orang-orang saja. Makna gerakan perubahan
belum menyentuh kepada hakikat perubahan yang sesungguhnya yaitu perubahan
menyeluruh dalam tiap aspek kehidupan masyarakat. Buktinya setelah politikus
itu hengkang dari partai maka tidak dijumpai satupun aksi nyata untuk memenuhi
janji-janji yang telah terlanjur disiarkan kehadapan publik. Padahal dari segi
finansial politikus itu mampu memenuhi janji-janjinya. Tidak perlu keseluruhan
cukup sebagian saja. Jika ini tidak dilakukan maka semakin jelas watak dan
sifat politisi negeri kita ini masih tak berubah yaitu tetap terkungkung pamrih pribadi dan kelompok.
Oleh karena itu kita harus lebih waspada jangan sampai
terbuai janji-janji manis para politisi melalui bermacam jargon yang mereka
ciptakan, siapapun orangnya, sebelum kita melihat bukti kongkrit. Inilah pokok
persoalannya. Politikus karbitan biasanya sangat lihai mengiklankan kepentingan
lewat berbagai macam jalur. Hari ini media massa banyak dipilih terutama yang audio
visual. Jadi jangan heran jika anda melihat ada orang yang diikuti dan selalu
disorot kamera media kemanapun ia pergi dan bergerak. Politisi karbitan akan
memanfaatkan apa saja yang penting dapat membuka peluang mengantarkan pada
tujuan untuk berkuasa.
Jadi tidak keliru jika ditafsirkan bahwa gerakan perubahan yang dimaksudkan dalam
iklan itu hanya dalam arti sempit yang semata diarahkan pada pergantian
penguasa. Sedangkan perubahan dalam arti sesungguhnya cukup sampai pada tataran
wacana atau pada dataran gembar-gembor. Keberadaan iklan politik itu menjadi
penanda yang menunjukkan adanya taktik dan strategi pemenuhan ambisisi meraih
kekuasaan. Disini kita melihat penyempitan makna dan penyimpangan maksud dari
jargon gerakan perubahan.
Perubahan yang sebenarnya pasti tidak bermula dari iklan dan
diakhiri dengan iklan pula. Perubahan juga tak perlu diawali dengan wacana
politik bombastis. Gerakan perubahan menuntut aksi nyata yang didahului oleh
penguasaan permasalahan. Kita gampang saja mempersoalkan kemiskinan,
ketimpangan sosial, ketidakadillan
hukum, dan perilaku korupsi sebab jargon-jargon ini memang telah menjadi
perbendaharaan kata yang tersimpan dalam ingatan seluruh masyarakat. Sehingga
ketika diiklankan dalam arti selalu diteriakkan oleh seorang politikus maka
akan terdengar klise dan kadaluarsa. Siapapun bisa mengumbar janji-janji tapi
jarang yang bisa menepati. Kalau hanya bicara anak TK pun juga bisa. Oleh
karena itu jangan biarkan masyarakat kita terhipnotis dan tergiring dalam
rekayasa kesadaran semu yang diiklankan para politisi.
No comments:
Post a Comment