Blog is Power

Saturday, April 6, 2013

Kafir



Ajaran Islam sejak 14 abad silam telah menyebutkan jika seseorang tidak beriman kepada Allah sebagai Tuhan satu-satunya yang berhak disembah dan mendustakan Nabi Muhammad sebagai rasul utusan Allah, maka orang tersebut disebut kafir. Beribu-ribu tahun lamanya ajaran ini dipegang sebagai salah satu ajaran pokok dalam Islam oleh para pendahulu dan tidak ada yang keberatan. 


Namun perkembangan pemikiran manusia yang dipengaruhi oleh filsafat postmodern saat ini menunjukkan adanya tren perubahan. Istilah kafir didekonstruksi dan ditafsirkan ulang oleh para orientalis kemudian diikuti oleh sebagian orang-orang Islam sendiri. Para penganut agama lain juga ramai-ramai menggugat seraya menolak disebut kafir. Mereka menuntut pada umat Islam agar dianggap sama-sama benar.

Mulai saat itu istilah kafir dianggap sebagai ungkapan tabu dan persoalan besar dalam pergaulan sosial. Istilah kafir dipandang kontraproduktif bagi tujuan memelihara kerukunan. Kalangan yang anti kafir mengecam setiap muslim yang mengklaim hanya Islam yang benar. Mereka akan menyebut anda hanya ingin benar sendiri. Bahkan mereka tak akan segan mengecap anda intoleran. 

Secara psikologis anda pasti merasa tidak nyaman saat dicap demikian. Padahal, anda sekedar melaksanakan ajaran Islam dan tak sekalipun bermaksud merendahkan agama lain, merusak kerukunan, apalagi memaksa orang lain untuk konversi agama. Anda barangkali pernah mengalaminya. Persoalan yang akhir-akhir ini sering terjadi dalam pergaulan sehari-hari masyarakat Indonesia yang telah lama dikenal sebagai negara dengan penduduk hampir 100 persen memeluk agama yang heterogen. 

Dalam konstitusi disebutkan bahwa negara menjamin tiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Semua orang tahu keberadaan ketentuan ini dalam konstitusi. Maka kemudian terasa aneh dan ganjil jika sementara orang di negeri ini sangat gerah dengan keberadaan konsep kafir dalam ajaran Islam. Mengapa non muslim sangat keberatan dengan istilah kafir. Padahal pelaksanaan ajaran Islam oleh setiap muslim juga mendapat jaminan dari negara sama dengan pelaksanaan ajaran agama-agama lainnya.

Kita telah lama mendengar bahwa tiap pemeluk agama seperti Kristen dan Yahudi hidup dengan ajarannya masing-masing. Konsep kafir itu pun sejatinya telah ada dalam bangunan teologi kedua agama rumpun abrahamik itu. Umat Islam tidak keberatan atas kondisi demikian. Dalam keseharian setiap muslim dapat melakukan hubungan perniagaan dengan siapa saja. Relasi sosial ekonomi berjalan dan terjalin tanpa memandang perbedaan agama khususnya keberadaan konsep kafir dalam masing-masing agama.

Maka sukar dipahami jika dengan pandangan-pandangan diatas masih saja ada sebagian dari kalangan Islam dan pihak non muslim keberatan dengan konsep kafir. Yang sangat disesalkan mereka seringkali mendramatisasi keadaan dengan mengangkat konsep kafir tersebut ke wilayah perdebatan publik seraya menandaskan secara berulang-ulang perlunya penghapusan konsep kafir dan dengan gampang mereka menuding intoleran pada kalangan muslim yang bersikukuh memegang ajaran agamanya. 

Tentu saja kalangan Islam menolak tuntutan tersebut. Tidak ada dasar hukum legitim yang dapat dipakai untuk mendesak kalangan Islam meninggalkan konsep kafir. Lebih-lebih Islam sebagai agama tidak mengalami evolusi teologis seperti terjadi pada agama-agama lain. Anda tahu, para teolog dan sarjana-sarjana non muslim sudah lama mengganggap konsep kafir tidak relevan dengan situasi jaman. Mereka memandang tidak ada lagi kebenaran absolut. Mereka mengklaim yang tahu benar salah hanya Tuhan. Kita tak heran keadaan ini terjadi karena konon mereka menghadapi problem teologis-historis yang sudah sejak lama mereka sangsikan kebenarannya.      

Kalangan Islam tak akan latah merubah konsep kafir bagaimanapun keadaan dan situasinya. Lebih-lebih persoalan kafir itu bukan hanya urusan moral tapi juga perkara ushuluddin (lihat surah Al-Kafirun). Oleh karena itu, kita dapat mempertanyakan maksud dan tujuan sebagian kalangan Islam yang tetap ngotot melakukan dekonstruksi terhadap konsep kafir. Kalau hanya ikut-ikutan orientalis, maka lebih elok jika mereka segera berhenti mengacak-acak bangunan teologi Islam. 

Dekonstruksi konsep kafir telah terbukti “berjasa” memicu ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan persoalan-persoalan baru dalam kalangan Islam sendiri. Sebuah konsekuensi logis yang pasti terjadi karena kata Nabi: “Umatku tak akan bersepakat dalam kekeliruan”.  Para pihak yang bersilang pendapat mengenai konsep kafir terus  berseteru dan rupanya saling bersikukuh pada pendirian masing-masing. Mereka  sukar didamaikan. 

Maka muncul beberapa pertanyaan. Mengapa kondisi ini bisa terjadi dalam tubuh umat Islam? Apakah sebagian kalangan Islam itu telah keracunan? Siapa yang telah menjual agama ini dengan harga yang sangat murah? Atau, jangan-jangan telah hadir “nabi” baru yang mengkampanyekan penghapusan konsep kafir, karena mustahil mereka mau bergerilya menyuarakan perlunya penghapusan konsep kafir bila mereka tidak menerima tawaran, ajakan, dan ajaran baru dari seseorang yang di-nabi-kan.

No comments: