Ajaran Islam sejak 14 abad
silam telah menyebutkan jika seseorang tidak beriman kepada Allah sebagai Tuhan
satu-satunya yang berhak disembah dan mendustakan Nabi Muhammad sebagai rasul utusan
Allah, maka orang tersebut disebut kafir. Beribu-ribu tahun lamanya ajaran ini
dipegang sebagai salah satu ajaran pokok dalam Islam oleh para pendahulu dan
tidak ada yang keberatan.
Namun perkembangan pemikiran
manusia yang dipengaruhi oleh filsafat postmodern saat ini menunjukkan adanya tren
perubahan. Istilah kafir didekonstruksi dan ditafsirkan ulang oleh para
orientalis kemudian diikuti oleh sebagian orang-orang Islam sendiri. Para
penganut agama lain juga ramai-ramai menggugat seraya menolak disebut kafir.
Mereka menuntut pada umat Islam agar dianggap sama-sama benar.
Mulai saat itu istilah kafir
dianggap sebagai ungkapan tabu dan persoalan besar dalam pergaulan sosial. Istilah
kafir dipandang kontraproduktif bagi tujuan memelihara kerukunan. Kalangan yang
anti kafir mengecam setiap muslim yang mengklaim hanya Islam yang benar. Mereka
akan menyebut anda hanya ingin benar sendiri. Bahkan mereka tak akan segan mengecap
anda intoleran.
Secara psikologis anda pasti
merasa tidak nyaman saat dicap demikian. Padahal, anda sekedar melaksanakan ajaran
Islam dan tak sekalipun bermaksud merendahkan agama lain, merusak kerukunan, apalagi
memaksa orang lain untuk konversi agama. Anda barangkali pernah mengalaminya. Persoalan
yang akhir-akhir ini sering terjadi dalam pergaulan sehari-hari masyarakat
Indonesia yang telah lama dikenal sebagai negara dengan penduduk hampir 100
persen memeluk agama yang heterogen.
Dalam konstitusi disebutkan bahwa
negara menjamin tiap pemeluk agama untuk melaksanakan ajaran agamanya
masing-masing. Semua orang tahu keberadaan ketentuan ini dalam konstitusi. Maka
kemudian terasa aneh dan ganjil jika sementara orang di negeri ini sangat gerah
dengan keberadaan konsep kafir dalam ajaran Islam. Mengapa non muslim sangat
keberatan dengan istilah kafir. Padahal pelaksanaan ajaran Islam oleh setiap
muslim juga mendapat jaminan dari negara sama dengan pelaksanaan ajaran agama-agama
lainnya.
Kita telah lama mendengar
bahwa tiap pemeluk agama seperti Kristen dan Yahudi hidup dengan ajarannya
masing-masing. Konsep kafir itu pun sejatinya telah ada dalam bangunan teologi
kedua agama rumpun abrahamik itu. Umat Islam tidak keberatan atas kondisi demikian.
Dalam keseharian setiap muslim dapat melakukan hubungan perniagaan dengan siapa
saja. Relasi sosial ekonomi berjalan dan terjalin tanpa memandang perbedaan
agama khususnya keberadaan konsep kafir dalam masing-masing agama.
Maka sukar dipahami jika
dengan pandangan-pandangan diatas masih saja ada sebagian dari kalangan Islam dan
pihak non muslim keberatan dengan konsep kafir. Yang sangat disesalkan mereka
seringkali mendramatisasi keadaan dengan mengangkat konsep kafir tersebut ke
wilayah perdebatan publik seraya menandaskan secara berulang-ulang perlunya penghapusan
konsep kafir dan dengan gampang mereka menuding intoleran pada kalangan muslim
yang bersikukuh memegang ajaran agamanya.
Tentu saja kalangan Islam
menolak tuntutan tersebut. Tidak ada dasar hukum legitim yang dapat dipakai
untuk mendesak kalangan Islam meninggalkan konsep kafir. Lebih-lebih Islam
sebagai agama tidak mengalami evolusi teologis seperti terjadi pada agama-agama
lain. Anda tahu, para teolog dan sarjana-sarjana non muslim sudah lama
mengganggap konsep kafir tidak relevan dengan situasi jaman. Mereka memandang tidak
ada lagi kebenaran absolut. Mereka mengklaim yang tahu benar salah hanya Tuhan.
Kita tak heran keadaan ini terjadi karena konon mereka menghadapi problem
teologis-historis yang sudah sejak lama mereka sangsikan kebenarannya.
Kalangan Islam tak akan
latah merubah konsep kafir bagaimanapun keadaan dan situasinya. Lebih-lebih
persoalan kafir itu bukan hanya urusan moral tapi juga perkara ushuluddin
(lihat surah Al-Kafirun). Oleh karena itu, kita dapat mempertanyakan maksud dan
tujuan sebagian kalangan Islam yang tetap ngotot melakukan dekonstruksi terhadap
konsep kafir. Kalau hanya ikut-ikutan orientalis, maka lebih elok jika mereka
segera berhenti mengacak-acak bangunan teologi Islam.
Dekonstruksi konsep kafir telah
terbukti “berjasa” memicu ketegangan-ketegangan, konflik-konflik, dan
persoalan-persoalan baru dalam kalangan Islam sendiri. Sebuah konsekuensi logis
yang pasti terjadi karena kata Nabi: “Umatku tak akan bersepakat dalam
kekeliruan”. Para pihak yang bersilang
pendapat mengenai konsep kafir terus
berseteru dan rupanya saling bersikukuh pada pendirian masing-masing.
Mereka sukar didamaikan.
Maka muncul beberapa
pertanyaan. Mengapa kondisi ini bisa terjadi dalam tubuh umat Islam? Apakah sebagian
kalangan Islam itu telah keracunan? Siapa yang telah menjual agama ini dengan
harga yang sangat murah? Atau, jangan-jangan telah hadir “nabi” baru yang
mengkampanyekan penghapusan konsep kafir, karena mustahil mereka mau bergerilya
menyuarakan perlunya penghapusan konsep kafir bila mereka tidak menerima tawaran,
ajakan, dan ajaran baru dari seseorang yang di-nabi-kan.
No comments:
Post a Comment