Blog is Power

Sunday, March 17, 2013

Apa sich Manfaat Survei LSI itu?




Sore tadi saya kebetulan membaca berita melalui salah satu situs berita online mengenai hasil survei terbaru LSI. Hasil survei itu merilis persentase popularitas tokoh-tokoh politik yang sudah tidak asing dalam ingatan kita. Para elite partai yang telah lama malang-melintang dalam dunia politik praktis. Hanya saja, saya tidak begitu tertarik dengan wajah-wajah lama karena seperti dikatakan banyak orang: “orang-orang lama pasti dengan pola pikir lama juga”. Jadi, survei itu mubazir menurut saya. Apa guna melakukan survei terhadap orang-orang yang telah dikenal luas oleh masyarakat? Tentu tak ada, selain buang-buang waktu dan biaya. Toh, anda akan tahu tanpa disurvei sekalipun pasti orang itu-itu juga yang akan maju sebagai calon presiden pada pemilu 2014.

Oleh karena itu, pengumuman hasil survei itu bisa kita tafsirkan sebagai usaha LSI untuk menyampaikan pesan politik kepada masyarakat. Harapannya barangkali agar masyarakat terpengaruh dan mengiyakan begitu saja hasil survei politik itu. Bahwa mereka yang disebut sebagai tokoh terpopuler menurut hasil survei LSI harus dianggap sebagai kandidat paling layak untuk dinobatkan sebagai calon presiden. Tapi benarkah hasil survei itu memadai bila kita pakai sebagai tolok ukur untuk menilai kemampuan serang tokoh? Dengan kata lain, mungkinkah kemampuan individu seorang calon presiden dapat diukur dengan uang dan popularitasnya saja?

Popularitas Bukan Jaminan

Dalam konteks Indonesia pemilihan calon presiden dan wakil presiden sudah lazim melibatkan seluruh warganegara dalam pemilu yang dilaksanakan secara periodik setiap lima tahun sekali. Salah satu syarat dan kriteria yang sedang “booming” saat ini bagi seorang calon presiden agar menang dalam pemilihan umum adalah memiliki popularitas. Artinya, orang yang paling dikenal oleh masyarakat. 

Anehnya, walaupun popularitas bukan syarat konstitusional yang termaktub secara hitam putih dalam aturan perundang-undangan, namun saat ini popularitas telah didudukkan sebagai persyaratan tak tertulis, kriteria terpenting, dan kriteria paling menentukan; terutama sejak menjamurnya lembaga-lembaga survei. Saat ini, buah dan dampaknya telah jelas: kehadiran berbagai lembaga-lembaga survei itu berhasil merubah orientasi dan perilaku elite-elite politik dan pandangan masyarakat dalam memilih seorang calon pemimpin. 

Padahal, perubahan orientasi yang dipelopori lembaga-lembaga survei sejatinya telah mereduksi secara besar-besaran terhadap kriteria-kriteria ideal seorang calon pemimpin. Jika dulu kriteria seorang pemimpin lebih mengutamakan orang yang memiliki kemampuan personal mumpuni dan kesalehan sosial tinggi,  saat ini seorang calon pemimpin cukup bermodal uang 10 karung dan popularitas yang menjulang setinggi gunung. Persis seperti orang yang ingin melamar menjadi artis atawa selebritis. Sehingga bila berhadapan dengan masalah besar dalam pemerintahannya kelak, pemimpin dengan model terakhir itu akan kebingungan karena tak mengerti dan tak menguasai peran dan fungsi yang mesti dijalankan. Maka jelas, telah terjadi pendangkalan luar biasa dalam tradisi politik kita. Ini sesungguhnya sangat memprihatinkan. Keadaan yang paradoks karena konon kita ini hidup dalam era reformasi. 

Pengarus-utamaan faktor uang dan popularitas dalam penentuan kriteria pemimpin memang secara terang-terangan difatwakan kepada khalayak. Simak saja Adjie Alfaraby yang dengan gamblang menyatakan bahwa “dalam hal iklan di media massa. Juga kurangnya dana dari partai Islam. Terakhir, karena mereka dianggap hanya mengakomodasi kepentingan Islam. Itu faktor mengapa popularitas mereka rendah dimata publik” (detik.com 17/03/2013). 

Pernyataan Adjie Alfaraby telah menggambarkan secara jelas bagaimana sebenarnya kondisi kehidupan politik kita saat ini. Alih-alih mencari terobosan baru untuk mengatasi pendangkalan kriteria-kriteria pemimpin agar lebih ideal dan relevan dengan semangat reformasi, LSI justru menjadi corong utama bagi perubahan orientasi perilaku masyarakat dalam memilih calon pemimpin dan menggiring para elite politik mengabaikan prinsip-prinsip penting penentuan kriteria seorang calon presiden.  
     
Keberadaan partai-partai Islam nampaknya menjadi beban tersendiri bagi LSI. Entah kenapa LSI begitu perhatian terhadap nasib partai Islam, sehingga Adjie Alfaraby menyempatkan diri melontarkan kritikan pedas. Tanpa segan Alfaraby memerankan diri sebagi juri sekaligus hakim dan merasa berhak mengevaluasi kondisi partai-partai Islam. Hanya saja Alfaraby ini lupa bahwa tindak penghakiman atas partai-partai Islam itu sebenarnya dapat dikategorikan sebagai sikap “lebay”. Anda tahu, visi partai dengan masing-masing “trademark”-nya pasti berbeda dan oleh karena berbeda maka penentuan strategi pemenangan pemilu tak akan sama. Alfaraby sepertinya lupa pada pepatah: lain lubuk lain belalang. Jika Alfaraby menilai jualan jamu di media massa sebagai siasat bagus, maka untuk partai Islam yang disebutnya “kere” itu belum tentu akan juga dianggap baik.

Uang memang bisa membeli popularitas sedangkan popularitas itu dapat mengantar manusia meraih kekuasaan. Barangkali logika Adjie Alfaraby seperti demikian. Dan resep itu dipandang sebagai jurus pamungkas untuk kemenangan partai. Namun persoalannya disini, apakah Adjie Alfaraby berani menjamin jika uang dan popularitas berbanding lurus dengan kualitas dan profesionalitas seorang calon presiden? Untuk menjawab pertanyaan ini saya kira kita tidak perlu menunggu pengumuman dari lembaga survei manapun termasuk LSI tentunya.


   

No comments: