Sore tadi saya kebetulan
membaca berita melalui salah satu situs berita online mengenai hasil survei
terbaru LSI. Hasil survei itu merilis persentase popularitas tokoh-tokoh politik
yang sudah tidak asing dalam ingatan kita. Para elite partai yang telah lama
malang-melintang dalam dunia politik praktis. Hanya saja, saya tidak begitu
tertarik dengan wajah-wajah lama karena seperti dikatakan banyak orang: “orang-orang
lama pasti dengan pola pikir lama juga”. Jadi, survei itu mubazir menurut saya.
Apa guna melakukan survei terhadap orang-orang yang telah dikenal luas oleh
masyarakat? Tentu tak ada, selain buang-buang waktu dan biaya. Toh, anda akan tahu
tanpa disurvei sekalipun pasti orang itu-itu juga yang akan maju sebagai calon
presiden pada pemilu 2014.
Oleh karena itu, pengumuman
hasil survei itu bisa kita tafsirkan sebagai usaha LSI untuk menyampaikan pesan
politik kepada masyarakat. Harapannya barangkali agar masyarakat terpengaruh
dan mengiyakan begitu saja hasil survei politik itu. Bahwa mereka yang disebut
sebagai tokoh terpopuler menurut hasil survei LSI harus dianggap sebagai
kandidat paling layak untuk dinobatkan sebagai calon presiden. Tapi benarkah
hasil survei itu memadai bila kita pakai sebagai tolok ukur untuk menilai
kemampuan serang tokoh? Dengan kata lain, mungkinkah kemampuan individu seorang
calon presiden dapat diukur dengan uang dan popularitasnya saja?
Popularitas
Bukan Jaminan
Dalam konteks Indonesia
pemilihan calon presiden dan wakil presiden sudah lazim melibatkan seluruh
warganegara dalam pemilu yang dilaksanakan secara periodik setiap lima tahun
sekali. Salah satu syarat dan kriteria yang sedang “booming” saat ini bagi
seorang calon presiden agar menang dalam pemilihan umum adalah memiliki popularitas.
Artinya, orang yang paling dikenal oleh masyarakat.
Anehnya, walaupun
popularitas bukan syarat konstitusional yang termaktub secara hitam putih dalam
aturan perundang-undangan, namun saat ini popularitas telah didudukkan sebagai persyaratan
tak tertulis, kriteria terpenting, dan kriteria paling menentukan; terutama
sejak menjamurnya lembaga-lembaga survei. Saat ini, buah dan dampaknya telah jelas:
kehadiran berbagai lembaga-lembaga survei itu berhasil merubah orientasi dan
perilaku elite-elite politik dan pandangan masyarakat dalam memilih seorang
calon pemimpin.
Padahal, perubahan orientasi
yang dipelopori lembaga-lembaga survei sejatinya telah mereduksi secara
besar-besaran terhadap kriteria-kriteria ideal seorang calon pemimpin. Jika
dulu kriteria seorang pemimpin lebih mengutamakan orang yang memiliki kemampuan
personal mumpuni dan kesalehan sosial tinggi,
saat ini seorang calon pemimpin cukup bermodal uang 10 karung dan popularitas
yang menjulang setinggi gunung. Persis seperti orang yang ingin melamar menjadi
artis atawa selebritis. Sehingga bila berhadapan dengan masalah besar dalam pemerintahannya
kelak, pemimpin dengan model terakhir itu akan kebingungan karena tak mengerti dan
tak menguasai peran dan fungsi yang mesti dijalankan. Maka jelas, telah terjadi
pendangkalan luar biasa dalam tradisi politik kita. Ini sesungguhnya sangat
memprihatinkan. Keadaan yang paradoks karena konon kita ini hidup dalam era
reformasi.
Pengarus-utamaan faktor uang
dan popularitas dalam penentuan kriteria pemimpin memang secara terang-terangan
difatwakan kepada khalayak. Simak saja Adjie Alfaraby yang dengan gamblang menyatakan bahwa “dalam
hal iklan di media massa. Juga kurangnya dana dari partai Islam. Terakhir,
karena mereka dianggap hanya mengakomodasi kepentingan Islam. Itu faktor
mengapa popularitas mereka rendah dimata publik” (detik.com 17/03/2013).
Pernyataan Adjie Alfaraby
telah menggambarkan secara jelas bagaimana sebenarnya kondisi kehidupan politik
kita saat ini. Alih-alih mencari terobosan baru untuk mengatasi pendangkalan
kriteria-kriteria pemimpin agar lebih ideal dan relevan dengan semangat
reformasi, LSI justru menjadi corong utama bagi perubahan orientasi perilaku
masyarakat dalam memilih calon pemimpin dan menggiring para elite politik
mengabaikan prinsip-prinsip penting penentuan kriteria seorang calon presiden.
Keberadaan partai-partai
Islam nampaknya menjadi beban tersendiri bagi LSI. Entah kenapa LSI begitu
perhatian terhadap nasib partai Islam, sehingga Adjie Alfaraby menyempatkan
diri melontarkan kritikan pedas. Tanpa segan Alfaraby memerankan diri sebagi
juri sekaligus hakim dan merasa berhak mengevaluasi kondisi partai-partai
Islam. Hanya saja Alfaraby ini lupa bahwa tindak penghakiman atas partai-partai
Islam itu sebenarnya dapat dikategorikan sebagai sikap “lebay”. Anda tahu, visi
partai dengan masing-masing “trademark”-nya pasti berbeda dan oleh karena
berbeda maka penentuan strategi pemenangan pemilu tak akan sama. Alfaraby
sepertinya lupa pada pepatah: lain lubuk
lain belalang. Jika Alfaraby menilai jualan jamu di media massa sebagai
siasat bagus, maka untuk partai Islam yang disebutnya “kere” itu belum tentu
akan juga dianggap baik.
Uang memang bisa membeli
popularitas sedangkan popularitas itu dapat mengantar manusia meraih kekuasaan.
Barangkali logika Adjie Alfaraby seperti demikian. Dan resep itu dipandang
sebagai jurus pamungkas untuk kemenangan partai. Namun persoalannya disini,
apakah Adjie Alfaraby berani menjamin jika uang dan popularitas berbanding
lurus dengan kualitas dan profesionalitas seorang calon presiden? Untuk
menjawab pertanyaan ini saya kira kita tidak perlu menunggu pengumuman dari
lembaga survei manapun termasuk LSI tentunya.
No comments:
Post a Comment