Blog is Power

Tuesday, July 23, 2013

Media Massa dan 3 Saranku Untuk Ormas dan Orpol Islam



Kalau saja FPI tidak bernama FPI barangkali sorotan media terhadap organisasi yang dipimpin oleh Habib Riziq itu tidak akan begitu besar seperti kita saksikan belakangan. Bandingkan misalnya dengan kasus Snowden dan sepak terjang Zionis Israel yang mendapat porsi pemberitaan sangat minim bahkan nyaris tak dijumpai sama sekali. Hanya satu dari beberapa media cetak, media audio-visual, dan media online yang lumayan memberikan porsi pemberitaan. 

Satu lagi contoh pemberitaan yang sangat heboh belakangan tentang kasus impor daging yang melibatkan mantan petinggi PKS, Lutfi Hasan Ishaq. Pemberitaan terhadap Lutfi cs nyaris serupa dengan porsi pemberitaan pada FPI yang sangat dramatis dan fenomenal. Bandingkan misalnya dengan porsi pemberitaan untuk kasus dugaan korupsi yang menimpa kader partai politik lain semisal Emir Muis, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng atau juga kisah perlawanan PKL Tanah Abang atas rencana relokasi oleh Pemerintah DKI Jakarta.

Entah disengaja atau tidak, sorotan media massa terhadap sepak terjang ormas dan orpol dengan garis ideologi organisasi mengatasnamakan Islam begitu luar biasa. Media massa nampak antusias dan sangat getol jika berhadapan dengan kasus-kasus yang menyerempet nama Islam. Gairah mereka seperti sumbu mercon yang tersulut bara kemudian meledak memuntahkan apapun yang terpendam dan dirasa menyesakkan  selama ini.

Gejala ini begitu aneh dan terasa ganjil dalam pandangan saya. Walaupun hal demikian bukan lagi perkara asing sebetulnya, karena sudah sejak zaman dahulu yang namanya ormas dan orpol Islam di negeri kita tercinta ini selalu menjadi sasaran tembak: pelemahan, adu domba, dan bahkan pemberangusan. Bedanya barangkali kalau jaman dulu hanya rezim alias status quo yang begitu anti sehingga sangat ketat mengawasi dan tak jarang bertindak represif. Sementara saat ini media massa juga turut serta dan tak segan-segan mengucilkan mereka dari pemberitaan, atau memberikan porsi berita luar biasa dan diluar kelaziman  manakala ada temuan ormas dan orpol Islam melakukan pelanggaran.
 
Ini kemudian menjadi sedikit terang bagi saya dan tak berlebihan jika disampaikan bahwa nasib ormas dan orpol Islam sejak jaman dulu hingga jaman sekarang sebetulnya tak jauh beda dan nyaris serupa. Mereka tetap menjadi sasaran penggembosan dan pelemahan. Akibatnya kita tahu dari jaman dulu ormas-ormas Islam tak pernah akur. Selalu terlibat baku hantam dan pertentangan pendapat sehingga sulit mencapai kesepakatan yang menggembirakan. Misalnya saja masalah penentuan awal Ramadhan. Demikian juga peran orpol Islam dari jaman ke jaman yang tak pernah sekalipun sanggup bertahan lama, apalagi mampu mendominasi jagad politik Indonesia. Mereka seperti menjadi atau bahkan dijadikan pelengkap penderita belaka.
  
Ada pertanyaan yang begitu membuncah dalam benak saya: mengapa ini bisa terjadi? Padahal jika dilihat dari struktur demografi, Indonesia jelas-jelas berpenduduk mayoritas Islam. Apakah Islam memang tak layak atau bahkan haram dipakai sebagai landasan moral, etik dan operasional bagi ormas dan orpol dinegara ini?

Sepengetahuan saya almarhum Jenderal H. Muhammad Soeharto pernah mengatakan: Pancasila bukan untuk menindas ummat Islam. Atau jangan-jangan ini bukan masalah demografi dan identitas agama sebenarnya melainkan usaha kelompok tertentu dalam melestarikan zona nyaman mereka, baik dalam bidang politik dan ekonomi berikut usaha penguatan ideologi tertentu. Timbul kekhawatiran dalam pikiran saya: jangan-jangan untuk itulah Pancasila selanjutnya hanya dipakai sebagai tameng dengan berusaha secara terus-menerus memonopoli tafsirnya.

Tentu ini bukan persoalan sederhana, karena seperti saya katakan sebelumnya media massa pun akhirnya ikut-ikutan ambil bagian dalam hiruk-pikuk tersebut. Media massa menjadi ikut terpolarisasi kepentingan: pragmatis dan ideologis. Sedianya media massa dapat bersikap fair, proporsional, dan toleran. Tapi yang terjadi mereka justru ikut larut dalam politik perkoncoan.

Saya kemudian menjadi pesimis bagaimana mungkin masyarakat kita memperoleh pendidikan politik yang sehat jika media massanya saja sudah tidak sehat? Padahal pendidikan politik yang dikonsumsi masyarakat sebagian besar justru berasal dari sajian informasi media massa. Bisa dibayangkan kemudian jika media massa turut serta menjadi partisipan dalam arti ikut serta dalam area dukung-mendukung dalam kontestasi politik. Maka jangan heran jika media massa akhir-akhir ini seringkali dipakai sebagai media pencitraan. Tentu saja untuk elite yang segaris, sepaham, dan seperjuangan. Sementara ormas dan orpol Islam yang berada diluar lingkaran mereka harus rela menjadi korban diskriminasi pemberitaan dan menjadi bulan-bulanan apabila sedikit saja terendus melakukan pelanggaran.

Untuk itu saya mempunyai 3 (Tiga) saran pada ormas dan orpol Islam agar tidak makin tenggelam dalam peta persaingan sosial politik di negara ini. Pertama, lakukan introspeksi. Kedua, harus segera dipikirkan bagaimana cara memiliki media massa yang unggul dan diminati masyarakat luas sehingga dapat difungsikan sebagai media penyeimbang dan tidak terus menjadi bulan-bulanan pemberitaan. Kedua, perkuat tali ukhuwah diantara ormas dan orpol Islam apapun warna dan pahamnya. Sebab, jika saya perhatikan memang ketiga hal inilah kelemahan mendasar yang dikandung ormas dan orpol Islam. 

Dengan eksistensi ketiga faktor itu masyarakat akan mendapat informasi yang benar mengenai aktivitas mereka. Masyarakat akan terhindar dari suguhan berita yang mendiskriditkan dan ingin menjatuhkan ormas dan orpol Islam manapun. Lebih-lebih tidak elok rasanya jika masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim ini justru menjadi antipati pada Islam politik, Islam sosial, dan Islam ormas yang bermacam-macam itu.  

No comments: