Kalau saja FPI tidak bernama
FPI barangkali sorotan media terhadap organisasi yang dipimpin oleh Habib Riziq
itu tidak akan begitu besar seperti kita saksikan belakangan. Bandingkan
misalnya dengan kasus Snowden dan sepak terjang Zionis Israel yang mendapat
porsi pemberitaan sangat minim bahkan nyaris tak dijumpai sama sekali. Hanya
satu dari beberapa media cetak, media audio-visual, dan media online yang lumayan
memberikan porsi pemberitaan.
Satu lagi contoh pemberitaan
yang sangat heboh belakangan tentang kasus impor daging yang melibatkan mantan
petinggi PKS, Lutfi Hasan Ishaq. Pemberitaan terhadap Lutfi cs nyaris serupa
dengan porsi pemberitaan pada FPI yang sangat dramatis dan fenomenal. Bandingkan misalnya
dengan porsi pemberitaan untuk kasus dugaan korupsi yang menimpa kader partai
politik lain semisal Emir Muis, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng atau juga
kisah perlawanan PKL Tanah Abang atas rencana relokasi oleh Pemerintah DKI
Jakarta.
Entah disengaja atau tidak, sorotan
media massa terhadap sepak terjang ormas dan orpol dengan garis ideologi
organisasi mengatasnamakan Islam begitu luar biasa. Media massa nampak antusias
dan sangat getol jika berhadapan dengan kasus-kasus yang menyerempet nama
Islam. Gairah mereka seperti sumbu mercon yang tersulut bara kemudian meledak
memuntahkan apapun yang terpendam dan dirasa menyesakkan selama ini.
Gejala ini begitu aneh dan terasa
ganjil dalam pandangan saya. Walaupun hal demikian bukan lagi perkara asing
sebetulnya, karena sudah sejak zaman dahulu yang namanya ormas dan orpol Islam
di negeri kita tercinta ini selalu menjadi sasaran tembak: pelemahan, adu
domba, dan bahkan pemberangusan. Bedanya barangkali kalau jaman dulu hanya
rezim alias status quo yang begitu anti sehingga sangat ketat mengawasi dan tak
jarang bertindak represif. Sementara saat ini media massa juga turut serta dan
tak segan-segan mengucilkan mereka dari pemberitaan, atau memberikan porsi
berita luar biasa dan diluar kelaziman
manakala ada temuan ormas dan orpol Islam melakukan pelanggaran.
Ini kemudian menjadi sedikit
terang bagi saya dan tak berlebihan jika disampaikan bahwa nasib ormas dan
orpol Islam sejak jaman dulu hingga jaman sekarang sebetulnya tak jauh beda dan
nyaris serupa. Mereka tetap menjadi sasaran penggembosan dan pelemahan. Akibatnya
kita tahu dari jaman dulu ormas-ormas Islam tak pernah akur. Selalu terlibat
baku hantam dan pertentangan pendapat sehingga sulit mencapai kesepakatan yang
menggembirakan. Misalnya saja masalah penentuan awal Ramadhan. Demikian juga
peran orpol Islam dari jaman ke jaman yang tak pernah sekalipun sanggup
bertahan lama, apalagi mampu mendominasi jagad politik Indonesia. Mereka
seperti menjadi atau bahkan dijadikan pelengkap penderita belaka.
Ada pertanyaan yang begitu membuncah dalam benak saya: mengapa ini bisa terjadi? Padahal jika
dilihat dari struktur demografi, Indonesia jelas-jelas berpenduduk mayoritas
Islam. Apakah Islam memang tak layak atau bahkan haram dipakai sebagai landasan
moral, etik dan operasional bagi ormas dan orpol dinegara ini?
Sepengetahuan saya almarhum
Jenderal H. Muhammad Soeharto pernah mengatakan: Pancasila bukan untuk menindas
ummat Islam. Atau jangan-jangan ini bukan masalah demografi dan identitas agama
sebenarnya melainkan usaha kelompok tertentu dalam melestarikan zona nyaman
mereka, baik dalam bidang politik dan ekonomi berikut usaha penguatan ideologi
tertentu. Timbul kekhawatiran dalam pikiran saya: jangan-jangan untuk itulah Pancasila
selanjutnya hanya dipakai sebagai tameng dengan berusaha secara terus-menerus
memonopoli tafsirnya.
Tentu ini bukan persoalan
sederhana, karena seperti saya katakan sebelumnya media massa pun akhirnya ikut-ikutan
ambil bagian dalam hiruk-pikuk tersebut. Media massa menjadi ikut terpolarisasi
kepentingan: pragmatis dan ideologis. Sedianya media massa dapat bersikap fair,
proporsional, dan toleran. Tapi yang terjadi mereka justru ikut larut dalam
politik perkoncoan.
Saya kemudian menjadi
pesimis bagaimana mungkin masyarakat kita memperoleh pendidikan politik yang sehat
jika media massanya saja sudah tidak sehat? Padahal pendidikan politik yang
dikonsumsi masyarakat sebagian besar justru berasal dari sajian informasi media
massa. Bisa dibayangkan kemudian jika media massa turut serta menjadi
partisipan dalam arti ikut serta dalam area dukung-mendukung dalam kontestasi
politik. Maka jangan heran jika media massa akhir-akhir ini seringkali dipakai
sebagai media pencitraan. Tentu saja untuk elite yang segaris, sepaham, dan
seperjuangan. Sementara ormas dan orpol Islam yang berada diluar lingkaran
mereka harus rela menjadi korban diskriminasi pemberitaan dan menjadi
bulan-bulanan apabila sedikit saja terendus melakukan pelanggaran.
Untuk itu saya mempunyai 3 (Tiga) saran pada ormas
dan orpol Islam agar tidak makin tenggelam dalam peta persaingan sosial
politik di negara ini. Pertama, lakukan introspeksi. Kedua, harus segera dipikirkan bagaimana cara memiliki
media massa yang unggul dan diminati masyarakat luas sehingga dapat
difungsikan sebagai media penyeimbang dan tidak terus menjadi bulan-bulanan
pemberitaan. Kedua, perkuat tali ukhuwah diantara ormas dan orpol
Islam apapun warna dan pahamnya. Sebab, jika saya perhatikan memang ketiga hal inilah
kelemahan mendasar yang dikandung ormas dan orpol Islam.
Dengan eksistensi ketiga
faktor itu masyarakat akan mendapat informasi yang benar mengenai aktivitas
mereka. Masyarakat akan terhindar dari suguhan berita yang mendiskriditkan dan
ingin menjatuhkan ormas dan orpol Islam manapun. Lebih-lebih tidak elok rasanya
jika masyarakat Indonesia yang sebagian besar muslim ini justru menjadi antipati
pada Islam politik, Islam sosial, dan Islam ormas yang bermacam-macam itu.
No comments:
Post a Comment